Nahdiyin: Menelusuri Jejak Peradaban Islam Nusantara

Pengantar: Memahami Nahdiyin dan Perannya

Nahdiyin, sebuah istilah yang merujuk pada para pengikut dan simpatisan Nahdlatul Ulama (NU), adalah kekuatan sosial-keagamaan terbesar di Indonesia. Dengan akar sejarah yang membentang jauh ke belakang, Nahdiyin bukan sekadar kelompok penganut agama, melainkan sebuah entitas yang sangat berpengaruh dalam membentuk wajah Islam di Nusantara, bahkan turut mewarnai perjalanan bangsa Indonesia itu sendiri. Sejak kelahirannya, NU dan para Nahdiyin telah menjadi garda terdepan dalam menjaga tradisi keagamaan, memperjuangkan kemerdekaan, hingga mengisi pembangunan pasca-kemerdekaan dengan nilai-nilai moderasi, toleransi, dan kebangsaan.

Memahami Nahdiyin berarti menyelami kompleksitas Islam Indonesia yang kaya, inklusif, dan dinamis. Mereka adalah penjaga akidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) yang tradisional, sekaligus pelopor dalam adaptasi terhadap modernitas tanpa kehilangan identitas. Artikel ini akan menelusuri secara komprehensif perjalanan Nahdiyin, mulai dari latar belakang pendirian Nahdlatul Ulama, ajaran dan nilai-nilai yang mereka pegang, peran historis dalam perjuangan bangsa, kontribusi terhadap pembangunan, hingga dinamika dan tantangan yang mereka hadapi di era kontemporer.

Dari pesantren-pesantren terpencil hingga forum-forum internasional, jejak langkah Nahdiyin terlihat jelas dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mereka tidak hanya berperan sebagai pembimbing spiritual, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang signifikan. Dalam era disrupsi dan polarisasi global, pemahaman yang mendalam tentang Nahdiyin menjadi semakin relevan, mengingat peran mereka sebagai pilar utama dalam menjaga keutuhan bangsa dan merawat perdamaian dunia melalui tawaran Islam Nusantara.

Sejarah Kelahiran Nahdlatul Ulama: Latar Belakang dan Tokoh Pendiri

Kelahiran Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926 di Surabaya, Jawa Timur, bukanlah peristiwa yang tiba-tiba, melainkan akumulasi dari respons terhadap dinamika sosial, politik, dan keagamaan yang kompleks pada awal abad ke-20. Masa itu adalah era kolonialisme Belanda yang kian mencengkeram, di mana pendidikan Islam tradisional (pesantren) mulai terancam oleh kebijakan pemerintah kolonial dan arus modernisme yang datang dari luar.

Konteks Sosial dan Keagamaan Pra-NU

Pada awal abad ke-20, Islam di Nusantara menghadapi berbagai tantangan:

Tokoh-Tokoh Pendiri dan Spirit Perjuangan

Melihat kondisi tersebut, sejumlah ulama terkemuka merasa perlu adanya sebuah organisasi yang mampu menjadi benteng bagi tradisi Ahlussunnah wal Jama'ah dan mempertahankan identitas keagamaan pribumi. Tokoh sentral di balik pendirian NU adalah:

  1. K.H. Hasyim Asy'ari (Hadratus Syekh): Ulama besar dari Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Beliau adalah pendiri Pondok Pesantren Tebuireng yang sangat berpengaruh dan dikenal sebagai "Guru dari Para Kyai". K.H. Hasyim Asy'ari adalah motor penggerak utama dalam upaya menyatukan ulama tradisional.
  2. K.H. Abdul Wahab Chasbullah: Ulama kharismatik dari Tambakberas, Jombang. Beliau adalah tokoh yang proaktif dalam merintis organisasi-organisasi ulama, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), Taswirul Afkar (Diskusi Pemikiran), dan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang). K.H. Wahab Chasbullah adalah inisiator utama pembentukan NU sebagai organisasi formal.
  3. K.H. Bisri Syansuri: Ulama dari Denanyar, Jombang, yang dikenal sebagai ahli fikih dan pelopor pendidikan pesantren putri. Beliau adalah salah satu ulama yang sangat mendukung upaya pendirian NU.
  4. K.H. Ridwan Abdullah: Ulama dari Surabaya yang bertanggung jawab atas perancangan lambang NU, yang sarat dengan makna filosofis keislaman dan kebangsaan.
  5. K.H. Nawawi Sidogiri, K.H. Ma'shum Lasem, K.H. Abdullah Ubaid, dll.: Banyak ulama lain yang turut serta dalam musyawarah dan menyepakati berdirinya NU.

Spirit utama pendirian NU adalah menjaga kemurnian ajaran Islam berdasarkan Ahlussunnah wal Jama'ah yang telah berkembang di Nusantara, mempertahankan tradisi keilmuan ulama salafus shalih, dan melawan upaya-upaya yang mengancam integritas umat Islam, baik dari kolonialisme maupun dari ideologi keagamaan yang dianggap menyimpang dari jalan tengah (moderat).

Pada awalnya, NU didirikan sebagai wadah untuk menyatukan ulama pesantren dalam menghadapi tekanan dari golongan pembaharu (Kaum Muda) serta untuk mengirim delegasi ke Mekkah guna memperjuangkan agar praktik bermadzhab tetap diizinkan. Namun, seiring berjalannya waktu, visi NU berkembang menjadi organisasi keagamaan-kemasyarakatan yang komprehensif, mencakup bidang pendidikan, dakwah, sosial, hingga politik.

Gambar 1: Representasi sederhana Lambang Nahdlatul Ulama, yang menampilkan bola dunia sebagai simbol universalitas Islam, dikelilingi sembilan bintang yang melambangkan para wali dan kepemimpinan nabi.

Nilai-Nilai Dasar dan Ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah ala Nahdiyin

Inti dari identitas Nahdiyin terletak pada komitmen mereka terhadap ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), yang dipahami dan diimplementasikan secara kontekstual di Nusantara. Aswaja ala Nahdiyin adalah sebuah kerangka berpikir dan beragama yang mengedepankan jalan tengah (moderat), toleransi, keseimbangan, dan keberpihakan pada kebaikan bersama. Ini bukan sekadar dogma, melainkan sebuah metode beragama yang lentur dan adaptif.

Pilar-Pilar Aswaja Nahdlatul Ulama

Secara umum, Aswaja ala Nahdiyin memiliki pilar-pilar utama dalam tiga disiplin ilmu Islam:

  1. Akidah/Teologi: Mengikuti Madzhab Asy'ariyah dan Maturidiyah.
    • Asy'ariyah: Dinamakan setelah Imam Abu Hasan Al-Asy'ari, madzhab ini menekankan penggunaan akal (rasio) untuk memahami teks-teks agama, namun dengan tetap memprioritaskan wahyu. Ia menjadi penyeimbang antara kaum tekstualis (yang menolak peran akal) dan kaum rasionalis ekstrem (Mu'tazilah).
    • Maturidiyah: Dinamakan setelah Imam Abu Mansur Al-Maturidi, memiliki banyak kesamaan dengan Asy'ariyah, namun dengan nuansa perbedaan dalam beberapa detail. Kedua madzhab ini menjadi landasan teologis yang menjaga umat dari pemahaman yang terlalu literal maupun terlalu liberal.
  2. Fikih/Hukum Islam: Mengikuti salah satu dari empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.
    • Di Indonesia, Madzhab Syafi'i adalah yang paling dominan dan menjadi rujukan utama bagi Nahdiyin. Kepatuhan pada madzhab ini memungkinkan adanya panduan yang jelas dalam praktik ibadah dan muamalah, sambil tetap membuka ruang ijtihad kolektif dalam kasus-kasus kontemporer.
  3. Tasawuf/Etika dan Spiritual: Mengikuti Imam Abul Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid Al-Ghazali.
    • Imam Al-Ghazali: Karyanya seperti Ihya' Ulumiddin adalah rujukan utama dalam pengembangan akhlak dan penyucian jiwa. Tasawuf ala Nahdiyin menekankan pentingnya moralitas, kerendahan hati, zuhud (tidak berlebihan terhadap dunia), dan hubungan harmonis dengan sesama.

Karakteristik Khas Aswaja Nahdiyin

Selain pilar-pilar di atas, Aswaja Nahdiyin juga memiliki karakteristik khusus yang menjadi pegangan dalam bermasyarakat:

Melalui nilai-nilai ini, Nahdiyin berupaya mewujudkan Islam yang rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam), yang relevan dan kompatibel dengan konteks keindonesiaan yang majemuk.

Peran Historis Nahdiyin dalam Perjuangan Kemerdekaan

Peran Nahdiyin dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah salah satu babak terpenting dalam sejarah mereka. Dengan jaringan pesantren yang luas dan loyalitas kuat dari para santri dan kyai, Nahdlatul Ulama menjadi kekuatan yang tak bisa diabaikan dalam melawan penjajahan.

Resolusi Jihad: Titik Balik Perlawanan

Salah satu kontribusi paling monumental Nahdiyin adalah Resolusi Jihad. Pada 22 Oktober 1945, hanya dua bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan, para ulama NU di Jawa Timur berkumpul di Surabaya. Mereka menghadapi situasi genting di mana tentara Sekutu (termasuk NICA, tentara Belanda yang ingin kembali menjajah) mulai mendarat di Indonesia. Fatwa yang dikeluarkan oleh K.H. Hasyim Asy'ari dan ulama lainnya menyatakan:

  1. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah jihad fi sabilillah (perang di jalan Allah) yang hukumnya fardhu 'ain (wajib bagi setiap individu muslim) bagi mereka yang berada dalam jarak 90 km dari medan perang.
  2. Bagi yang berada di luar jarak tersebut, hukumnya fardhu kifayah (kewajiban kolektif).
  3. Wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk membantu para pejuang kemerdekaan.

Resolusi Jihad ini membakar semangat juang rakyat, terutama pemuda dan santri. Ini menjadi legitimasi agama bagi perlawanan bersenjata terhadap penjajah, yang kemudian memuncak pada peristiwa heroik 10 November 1945 di Surabaya. Ribuan santri dan rakyat biasa mengangkat senjata, rela gugur sebagai syuhada demi mempertahankan kemerdekaan.

Kiprah di Medan Perang dan Jalur Diplomasi

Selain Resolusi Jihad, Nahdiyin juga berperan aktif dalam berbagai bentuk perjuangan:

Dengan demikian, Nahdiyin tidak hanya berjuang di jalur agama, tetapi juga aktif terlibat dalam perjuangan fisik dan politik untuk mewujudkan serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Semangat "Hubbul Wathan Minal Iman" telah menjadi daya dorong utama bagi mereka untuk mencintai dan membela tanah air.

Kontribusi Nahdiyin dalam Pembangunan Bangsa Pasca-Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan diraih, peran Nahdiyin tidak berhenti. Mereka mengalihkan fokus perjuangan dari merebut kemerdekaan menjadi mengisi kemerdekaan melalui berbagai program pembangunan di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik. Komitmen untuk membangun bangsa ini termanifestasi dalam beragam lembaga dan inisiatif.

Pendidikan: Membangun Generasi Unggul

Pendidikan adalah salah satu pilar utama perjuangan Nahdiyin. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan khas NU, terus berkembang dan berinovasi. Selain pesantren tradisional, NU juga mendirikan berbagai jenjang pendidikan formal:

Melalui pendidikan, Nahdiyin berupaya membentuk karakter bangsa yang religius, nasionalis, dan berintegritas, serta menghasilkan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan zaman.

Ekonomi: Pemberdayaan Umat dan Kemandirian

Di bidang ekonomi, Nahdiyin memiliki fokus pada pemberdayaan ekonomi umat, terutama melalui koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Lahirnya Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang) sebelum NU berdiri menunjukkan kesadaran awal akan pentingnya kemandirian ekonomi.

Sosial dan Dakwah: Merawat Kehidupan Berbangsa

Dalam bidang sosial, Nahdiyin sangat aktif dalam kegiatan dakwah, kesehatan, dan lingkungan. Dakwah Nahdiyin dikenal dengan pendekatan yang santun, moderat, dan kontekstual, menyesuaikan diri dengan kearifan lokal.

Politik: Menjaga Keutuhan Bangsa dan Demokrasi

Sejak awal, NU tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik Indonesia. Sempat menjadi partai politik, NU kemudian mengambil keputusan historis untuk kembali ke Khittah 1926 pada Muktamar Situbondo, 1984. Ini berarti NU kembali menjadi organisasi sosial keagamaan murni yang independen, tidak terafiliasi dengan partai politik manapun, namun tetap aktif dalam memberikan kontribusi pemikiran dan moral bagi arah kebijakan negara.

Melalui berbagai kontribusi ini, Nahdiyin terus membuktikan relevansi dan komitmen mereka dalam membangun Indonesia yang adil, makmur, dan beradab.

Gambar 2: Simbol buku dan pena, mewakili komitmen Nahdiyin terhadap ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pelestarian tradisi keilmuan Islam.

Struktur Organisasi dan Jaringan Nahdlatul Ulama

Sebagai organisasi besar dengan jutaan anggota, Nahdlatul Ulama memiliki struktur organisasi yang terencana dan sistematis, membentang dari tingkat pusat hingga ranting di desa-desa. Struktur ini memungkinkan NU untuk mengkoordinasikan program-programnya secara efektif dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Tingkatan Kepengurusan

Struktur kepengurusan NU terdiri dari beberapa tingkatan:

  1. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU): Berkedudukan di tingkat nasional, merupakan badan tertinggi NU yang memimpin dan mengendalikan seluruh organisasi. Dipimpin oleh Rais Aam (pemimpin tertinggi dalam urusan agama) dan Ketua Umum (pemimpin tertinggi dalam urusan organisasi).
  2. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU): Berkedudukan di tingkat provinsi, merupakan perpanjangan tangan PBNU di daerah.
  3. Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU): Berkedudukan di tingkat kabupaten/kota.
  4. Pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU): Berkedudukan di tingkat kecamatan.
  5. Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU): Berkedudukan di tingkat desa/kelurahan, merupakan ujung tombak NU yang paling dekat dengan masyarakat.
  6. Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama (PARNU): Berkedudukan di tingkat dusun atau kelompok-kelompok kecil di bawah PRNU.

Setiap tingkatan kepengurusan memiliki struktur yang terdiri dari Mustasyar (dewan penasihat), Syuriah (dewan ulama yang membimbing dan mengawasi aspek keagamaan), dan Tanfidziyah (badan pelaksana yang mengelola aspek organisasi dan program).

Badan Otonom (Banom)

Untuk mengakomodasi berbagai kelompok usia dan minat, NU memiliki sejumlah Badan Otonom (Banom) yang masing-masing bergerak di bidangnya sendiri, namun tetap dalam koordinasi dan bimbingan NU. Banom-banom ini sangat vital dalam menjangkau dan memberdayakan warga Nahdiyin dari berbagai latar belakang:

Jaringan organisasi yang kuat ini memungkinkan Nahdiyin untuk menjadi kekuatan yang terorganisir, adaptif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat di seluruh Indonesia.

Tantangan dan Dinamika Nahdiyin di Era Kontemporer

Sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar, Nahdlatul Ulama dan para Nahdiyin senantiasa menghadapi berbagai tantangan dan dinamika yang kompleks, baik dari internal maupun eksternal. Era kontemporer dengan segala disrupsinya menuntut Nahdiyin untuk terus berinovasi dan beradaptasi.

Modernisasi dan Globalisasi

Arus modernisasi dan globalisasi membawa perubahan cepat dalam berbagai aspek kehidupan. Bagi Nahdiyin, ini berarti:

Radikalisme dan Ekstremisme

Ancaman radikalisme dan ekstremisme agama, baik yang berwujud kekerasan maupun ideologi intoleran, adalah tantangan serius bagi Nahdiyin. Sebagai penjaga Islam moderat dan toleran, Nahdiyin berada di garis depan dalam melawan paham-paham ini:

Kesenjangan Ekonomi dan Sosial

Meskipun Indonesia terus berkembang, kesenjangan ekonomi dan sosial masih menjadi masalah. Nahdiyin memiliki peran besar dalam mengatasi ini:

Regenerasi Kepemimpinan dan Keberlanjutan Tradisi

Tantangan internal juga muncul, terutama terkait regenerasi kepemimpinan dan upaya menjaga keberlanjutan tradisi keilmuan pesantren:

Nahdiyin di Era Digital

Era digital membuka ruang baru yang tak terhingga, sekaligus tantangan yang memerlukan adaptasi cepat dari Nahdiyin. Respons NU terhadap era digital meliputi:

Melalui adaptasi dan inovasi ini, Nahdiyin berupaya tetap relevan dan efektif dalam menjalankan misi mereka di tengah laju perubahan zaman.

Gambar 3: Simbol jabat tangan, melambangkan nilai tasamuh (toleransi), persatuan, dan kerjasama yang selalu dijunjung tinggi oleh Nahdiyin.

Islam Nusantara: Tawaran Peradaban Nahdiyin untuk Dunia

Salah satu konsep terpenting yang digagas dan diusung oleh Nahdiyin adalah Islam Nusantara. Konsep ini bukan merupakan madzhab baru, melainkan sebuah pendekatan untuk memahami dan mengamalkan Islam yang selaras dengan konteks budaya, adat istiadat, dan kearifan lokal di Nusantara, tanpa kehilangan esensi ajaran Islam itu sendiri.

Ciri Khas Islam Nusantara

Islam Nusantara memiliki beberapa ciri khas:

Relevansi Global Islam Nusantara

Di tengah konflik dan polarisasi global yang seringkali melibatkan isu agama, Islam Nusantara yang diusung Nahdiyin menawarkan sebuah model peradaban Islam yang relevan bagi dunia:

Melalui Islam Nusantara, Nahdiyin tidak hanya membangun peradaban di Indonesia, tetapi juga menyumbangkan sebuah visi Islam yang damai dan adaptif kepada dunia.

Visi Masa Depan Nahdiyin: Menyongsong Abad Kedua NU

Memasuki abad kedua perjalanannya, Nahdlatul Ulama dan Nahdiyin dihadapkan pada tuntutan untuk terus beradaptasi dan berinovasi demi menjaga relevansinya dan meningkatkan kontribusinya bagi umat, bangsa, dan dunia. Visi masa depan Nahdiyin berkisar pada penguatan tiga pilar utama: pendidikan, ekonomi, dan dakwah, dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Aswaja dan Islam Nusantara.

Penguatan Pendidikan dan Sumber Daya Manusia

Visi Nahdiyin untuk masa depan adalah melahirkan generasi yang tidak hanya agamis tetapi juga cerdas, kompeten, dan memiliki daya saing global. Ini mencakup:

Kemandirian Ekonomi Umat

Kemandirian ekonomi adalah kunci untuk mewujudkan kesejahteraan umat dan kekuatan organisasi. Visi ke depan meliputi:

Dakwah Transformatif dan Lingkungan

Dakwah Nahdiyin akan terus berorientasi pada transformasi sosial yang positif, tidak hanya dalam aspek keagamaan tetapi juga dalam isu-isu kemanusiaan dan lingkungan:

Peran Global Nahdiyin

Dalam konteks global, Nahdiyin memiliki visi untuk semakin meneguhkan posisinya sebagai representasi Islam moderat dan toleran:

Dengan semangat "kemandirian dalam berpikir dan bertindak", Nahdiyin diharapkan terus menjadi mercusuar bagi Islam yang ramah dan peradaban yang berkeadaban di abad-abad mendatang.

Gambar 4: Peta Indonesia yang disederhanakan, melambangkan kuatnya nasionalisme Nahdiyin dan prinsip Hubbul Wathan Minal Iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman).

Kesimpulan: Nahdiyin Sebagai Pilar Peradaban Indonesia

Dari penelusuran panjang ini, jelaslah bahwa Nahdiyin, sebagai representasi dari Nahdlatul Ulama, bukanlah sekadar kelompok keagamaan, melainkan sebuah pilar peradaban yang telah dan akan terus mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Dengan landasan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah yang kuat, nilai-nilai moderasi, toleransi, dan keseimbangan, serta semangat "Hubbul Wathan Minal Iman", Nahdiyin telah memberikan kontribusi tak terhingga dalam berbagai lini kehidupan.

Mereka adalah penjaga tradisi keagamaan yang lentur, pelopor perjuangan kemerdekaan, penggerak pembangunan di bidang pendidikan dan ekonomi, serta agen perekat persatuan di tengah keberagaman. Di era yang terus berubah ini, Nahdiyin menghadapi tantangan globalisasi, radikalisme, dan disrupsi digital, namun mereka terus beradaptasi dan berinovasi, menawarkan konsep Islam Nusantara sebagai model Islam yang relevan dan damai bagi dunia.

Peran Nahdiyin dalam merawat keutuhan NKRI, menjaga Pancasila, dan mengembangkan Islam yang rahmatan lil 'alamin tidak dapat diragukan lagi. Mereka adalah bukti nyata bahwa Islam dapat berkembang harmonis dengan budaya lokal, menjadi kekuatan pencerah, dan agen perdamaian. Masa depan Nahdiyin terletak pada kemampuan mereka untuk terus berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasarnya sambil terus membuka diri terhadap kemajuan zaman, melahirkan generasi penerus yang kompeten, dan berkontribusi secara nyata bagi kemajuan umat manusia.

Jejak peradaban yang diukir oleh Nahdiyin adalah warisan tak ternilai, sebuah cerminan dari kekuatan Islam yang moderat, inklusif, dan berorientasi pada kemaslahatan bersama. Mereka akan terus menjadi suara moral dan kekuatan sosial yang tak tergantikan dalam membentuk masa depan Indonesia yang lebih baik dan berkontribusi pada perdamaian dunia.

🏠 Homepage