Pasan: Filosofi Mendalam, Warisan Budaya Nusantara

Diagram Lima Hari Pasaran Jawa (Pancawarna) Diagram ini menggambarkan siklus lima hari pasaran Jawa: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Kliwon berada di tengah sebagai pusat, dikelilingi oleh Legi (Timur), Pahing (Selatan), Pon (Barat), dan Wage (Utara). Kliwon Legi Pahing Pon Wage
Diagram lima hari pasaran Jawa: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon, melambangkan siklus waktu dan keseimbangan kosmologi Jawa.

Di tengah hiruk-pikuk modernisasi, Indonesia masih menyimpan begitu banyak kekayaan budaya dan kearifan lokal yang tak lekang oleh waktu. Salah satunya adalah sistem pasan, khususnya dalam konteks Jawa, yang bukan sekadar penanda hari, melainkan sebuah jalinan kompleks antara spiritualitas, ekonomi, sosial, dan kosmologi. Artikel ini akan membawa kita menyelami lebih dalam makna dan peran pasan, sebuah warisan tak benda yang terus relevan dan membentuk kehidupan masyarakat Nusantara, terutama di Pulau Jawa.

Pengantar Pasan: Lebih dari Sekadar Hari Pasar

Kata "pasan" sendiri memiliki beragam konotasi dalam bahasa Indonesia, mulai dari "pesan" (informasi atau amanat), "berpasan" (bertemu atau menyampaikan pesan), hingga "pasangan" (dua hal yang serasi). Namun, dalam konteks kebudayaan Jawa, "pasan" merujuk pada sistem lima hari pasaran (Pancawarna) yang menjadi bagian integral dari kalender Jawa. Sistem ini terdiri dari hari-hari: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.

Kelima hari ini tidak hanya mengatur jadwal pasar tradisional, tetapi juga menjadi dasar perhitungan weton, primbon, dan berbagai ritual adat. Ia adalah cerminan dari cara masyarakat Jawa memahami dan berinteraksi dengan alam semesta, sebuah filosofi hidup yang mengutamakan keseimbangan, harmoni, dan keselarasan. Pasan adalah jembatan antara dunia fisik dan metafisik, antara rutinitas harian dan perjalanan spiritual.

Sistem pasan telah ada berabad-abad lamanya, jauh sebelum kalender Masehi atau Hijriah dikenal luas di Nusantara. Ia berakar kuat dalam tradisi animisme dan dinamisme kuno yang kemudian berasimilasi dengan pengaruh Hindu-Buddha dan Islam, menciptakan sinkretisme unik yang menjadi ciri khas kebudayaan Jawa. Memahami pasan berarti memahami jiwa Jawa itu sendiri.

Sistem Pancawarna: Kalender Spiritual Jawa

Asal-usul dan Struktur Pasan

Sistem pasan, atau Pancawarna, adalah sebuah siklus lima hari yang berulang. Berbeda dengan siklus tujuh hari dalam kalender Masehi (Senin-Minggu) atau siklus tujuh hari dan bulan dalam kalender Hijriah, Pancawarna memiliki karakteristiknya sendiri yang khas. Konon, sistem ini sudah digunakan sejak zaman Majapahit atau bahkan lebih tua lagi, sebagai panduan utama dalam mengatur kehidupan masyarakat agraris.

Setiap hari pasaran memiliki nama, warna simbolis, arah mata angin, dan elemen alam tertentu. Kombinasi ini menciptakan sebuah matriks kosmologis yang sangat kaya, di mana setiap hari tidak hanya sekadar tanggal, melainkan sebuah entitas yang membawa energi dan karakteristik tersendiri. Ini bukan hanya sebuah sistem penanggalan, melainkan sebuah peta jalan untuk memahami pola energi alam semesta dan bagaimana manusia dapat menyelaraskan diri dengannya.

Pentingnya Pancawarna terletak pada kemampuannya untuk berinteraksi dengan siklus tujuh hari Masehi, menghasilkan apa yang dikenal sebagai Weton. Setiap orang lahir pada kombinasi hari Masehi dan hari pasaran Jawa (misalnya, Senin Legi, Selasa Pahing, dst.), dan weton inilah yang menjadi kunci untuk membaca karakter, nasib, bahkan menentukan kecocokan jodoh atau hari baik untuk upacara-upacara penting.

Makna Filosofis Setiap Hari Pasaran

Setiap hari pasaran dalam siklus Pancawarna bukan hanya nama, melainkan representasi dari sebuah konsep filosofis yang mendalam. Masyarakat Jawa memahami bahwa alam semesta ini terdiri dari berbagai energi dan sifat yang saling melengkapi. Kelima hari pasaran ini menjadi manifestasi dari energi-energi tersebut.

1. Legi (Manis)

Hari Legi adalah pembuka siklus, layaknya terbitnya matahari yang membawa cahaya dan kesegaran. Ia melambangkan kemurnian niat dan kesiapan untuk menjalani kehidupan. Dalam konteks pasar, hari Legi seringkali menjadi awal pekan yang ramai, di mana pedagang dan pembeli memulai aktivitas dengan semangat baru.

2. Pahing (Pahit)

Meskipun disebut "pahit," Pahing justru membawa energi yang kuat dan dinamis. Ini adalah hari di mana kekuatan kehendak dan emosi manusia bergelora. Pasar pada hari Pahing seringkali diwarnai dengan tawar-menawar yang lebih intens, menunjukkan dinamika dan gairah transaksi ekonomi yang tinggi. Ini juga hari di mana semangat komunitas seringkali muncul dalam bentuk gotong royong atau perayaan.

3. Pon (Manis)

Hari Pon adalah titik tengah antara Legi dan Kliwon, membawa energi keseimbangan dan kematangan. Seperti air yang mengalir tenang namun memiliki kekuatan besar, Pon melambangkan kekayaan batin dan materi yang didapat dari kebijaksanaan. Pasar pada hari Pon seringkali terasa lebih tenang dan stabil, di mana transaksi dilakukan dengan lebih perhitungan dan musyawarah. Ini adalah hari untuk menghargai hasil kerja keras dan merenungkan capaian.

4. Wage (Pahit)

Wage, dengan warna hitam dan elemen bumi, melambangkan fondasi yang kokoh dan kekuatan yang tersembunyi. Ini adalah hari untuk menanam benih, baik secara harfiah maupun metaforis, dan untuk membangun sesuatu yang tahan lama. Pasar pada hari Wage mungkin tidak seramai hari Legi atau Pahing, tetapi transaksi yang terjadi seringkali melibatkan barang-barang pokok yang fundamental untuk kehidupan, atau persiapan untuk periode berikutnya. Ini adalah hari untuk refleksi mendalam dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan.

5. Kliwon (Netral/Gabungan)

Kliwon adalah inti dari Pancawarna, hari yang mengumpulkan dan menyelaraskan semua energi dari keempat hari lainnya. Ini adalah hari yang penuh misteri dan kekuatan spiritual, seringkali dihindari untuk pekerjaan duniawi yang berat dan diutamakan untuk urusan batiniah. Pasar pada hari Kliwon mungkin cenderung lebih sepi atau justru dipenuhi dengan aktivitas yang lebih bersifat spiritual atau budaya, seperti pertunjukan wayang atau kegiatan adat lainnya.

Pasan dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Jawa

1. Ekonomi: Denyut Nadi Pasar Tradisional

Secara historis, sistem pasan adalah tulang punggung ekonomi pedesaan di Jawa. Pasar tradisional seringkali beroperasi berdasarkan siklus pasan, bukan siklus mingguan Masehi. Istilah "hari pasaran" sendiri merujuk pada hari di mana pasar tertentu beroperasi atau menjadi paling ramai.

Setiap daerah mungkin memiliki hari pasaran tertentu sebagai "hari puncak" pasar mereka. Misalnya, ada Pasar Legi, Pasar Pahing, dst. Pada hari pasaran tersebut, para petani membawa hasil panennya, pengrajin menjual karyanya, dan pedagang dari desa lain datang untuk berdagang. Ini menciptakan sebuah ekosistem ekonomi yang dinamis dan terhubung erat dengan ritme alam dan kehidupan masyarakat.

Barang dagangan yang dijual pun bervariasi, dari hasil pertanian segar, produk olahan rumah tangga, kerajinan tangan, hingga kebutuhan sandang pangan. Interaksi antara pedagang dan pembeli tidak hanya sebatas transaksi ekonomi, tetapi juga ajang silaturahmi, pertukaran informasi, dan pelestarian nilai-nilai sosial. Pasan memastikan adanya siklus distribusi barang dan jasa yang teratur, sehingga kebutuhan masyarakat terpenuhi dan roda ekonomi lokal terus berputar.

Bahkan di era modern, meskipun banyak pasar beroperasi setiap hari, nuansa "hari pasaran" masih terasa. Beberapa pasar tetap memiliki hari-hari tertentu di mana jumlah pedagang dan pembeli jauh lebih banyak, seringkali bertepatan dengan salah satu hari pasaran Jawa. Ini menunjukkan kekuatan tradisi dan bagaimana ia beradaptasi dengan perubahan zaman.

2. Sosial: Simpul Pertemuan dan Komunikasi

Pasar bukan hanya tempat bertransaksi, melainkan juga pusat sosial. Pada hari pasaran, masyarakat dari berbagai desa berkumpul. Ini adalah kesempatan emas untuk bersosialisasi, bertukar kabar, mencari jodoh, atau bahkan menyelesaikan perselisihan. Konsep "berpasan" dalam arti "bertemu" atau "menyampaikan pesan" sangat relevan di sini.

Pasan menjadi wadah untuk mempererat tali persaudaraan. Anak muda bertemu, orang tua berbagi pengalaman, dan tetangga saling menanyakan kabar. Informasi penting seringkali menyebar lebih cepat melalui pasar daripada melalui media formal. Pengumuman desa, kabar duka, hingga berita gembira seringkali tersampaikan dari mulut ke mulut di tengah keramaian pasar. Ini adalah jejaring sosial alami yang dibangun di atas tradisi dan kebutuhan komunal.

Selain itu, berbagai acara sosial juga seringkali direncanakan atau dilaksanakan bertepatan dengan hari pasaran tertentu, terutama Kliwon, yang dianggap sakral untuk pertemuan-pertemuan penting atau kegiatan spiritual bersama. Keterikatan masyarakat pada hari pasaran mencerminkan betapa pentingnya kebersamaan dan interaksi sosial dalam kehidupan mereka.

3. Budaya: Pondasi Upacara Adat dan Seni

Tidak ada upacara adat Jawa yang tidak melibatkan perhitungan pasan. Mulai dari pernikahan, selamatan (ritual syukuran), bersih desa, hingga pembangunan rumah, pemilihan hari selalu didasarkan pada perhitungan weton dan pasaran untuk mencari hari baik. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan kelancaran acara dan mendapatkan berkah dari alam semesta.

Misalnya, upacara pernikahan seringkali menghindari hari-hari yang dianggap "berat" atau memilih hari yang "cocok" untuk kedua mempelai berdasarkan weton mereka. Selamatan untuk kelahiran bayi, khitanan, atau pindah rumah juga memiliki hari-hari spesifik yang dianjurkan. Ini semua adalah bagian dari upaya menjaga harmoni antara manusia dan kosmos.

Seni pertunjukan seperti wayang kulit atau tari tradisional juga seringkali dipentaskan pada hari-hari pasaran tertentu, terutama Kliwon, karena dianggap membawa energi spiritual yang kuat dan mendukung suasana sakral pertunjukan. Dalang atau seniman percaya bahwa energi hari pasaran dapat mempengaruhi jalannya pertunjukan dan penerimaan penonton.

4. Spiritual: Weton, Primbon, dan Pencarian Keseimbangan

Inilah inti dari peran pasan dalam kehidupan spiritual Jawa. Kombinasi hari Masehi dan hari pasaran Jawa disebut weton. Setiap weton memiliki nilai numerik yang disebut neptu, yang dihitung dari nilai hari Masehi dan hari pasaran.

Misalnya, seseorang yang lahir pada hari Senin Legi akan memiliki neptu: Senin (4) + Legi (5) = 9. Neptu ini kemudian digunakan dalam primbon (kitab ramalan Jawa) untuk berbagai keperluan:

Semua ini mencerminkan keyakinan mendalam masyarakat Jawa bahwa manusia adalah bagian tak terpisahkan dari alam semesta, dan setiap tindakan harus diselaraskan dengan ritme kosmis. Pasan bukan sekadar takhayul, melainkan sebuah sistem kompleks yang mengajarkan tentang keteraturan, keseimbangan, dan upaya untuk hidup selaras dengan energi alam.

5. Arsitektur dan Tata Ruang

Pengaruh pasan juga terlihat dalam arsitektur tradisional Jawa, khususnya dalam penentuan arah bangunan atau tata letak sebuah desa. Konsep empat penjuru mata angin dan pusat (mancapat-mancalima) yang terkait erat dengan hari pasaran, seringkali diaplikasikan dalam perencanaan ruang. Rumah atau bangunan penting mungkin dibangun menghadap arah tertentu yang diyakini membawa keberuntungan berdasarkan hari pasaran atau weton pendiri.

Bahkan tata letak keraton dan kota-kota lama di Jawa seringkali menunjukkan pola yang selaras dengan konsep kosmologi Jawa, di mana pusat (alun-alun, keraton) dikelilingi oleh elemen-elemen yang melambangkan empat penjuru. Ini menunjukkan betapa sistem pasan meresap jauh ke dalam cara pandang masyarakat terhadap dunia dan lingkungan tempat tinggal mereka.

Pasan dan Kosmologi Jawa: Mikrokosmos dan Makrokosmos

Sistem pasan adalah kunci untuk memahami kosmologi Jawa yang memandang alam semesta (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos) sebagai dua entitas yang saling terkait dan merefleksikan satu sama lain. Setiap elemen dalam pasan—hari, warna, arah, elemen alam—memiliki resonansi baik di alam semesta maupun di dalam diri manusia.

Konsep Mancapat dan Mancalima: Ini adalah filosofi tata ruang dan tata sosial yang berakar pada sistem pasan. Mancapat (empat penjuru) mewakili arah mata angin yang mengelilingi sebuah pusat (mancalima).

Dalam diri manusia, kelima elemen ini juga hadir sebagai cakra atau titik energi, serta sifat-sifat psikologis dan spiritual. Misalnya, keberanian (Pahing/Api) harus seimbang dengan kebijaksanaan (Pon/Air) dan kemurnian (Legi/Angin), semua terpusat pada kesadaran spiritual (Kliwon/Eter).

Pasan mengajarkan bahwa keseimbangan adalah kunci kehidupan. Kelebihan satu elemen atau sifat tanpa diimbangi oleh yang lain dapat menyebabkan ketidakselarasan. Oleh karena itu, ritual dan perhitungan hari baik adalah upaya untuk mencapai keseimbangan ini, baik dalam diri maupun dalam lingkungan.

Konsep ini juga meluas ke dalam pemahaman tentang Sedulur Papat Lima Pancer, atau empat saudara dan satu pusat. Ini adalah kepercayaan Jawa bahwa setiap individu memiliki empat "saudara" spiritual yang mendampingi sejak lahir, dan kelima pancer (pusat) adalah diri sendiri. Keempat saudara ini sering dikaitkan dengan empat elemen dan arah mata angin, serta empat hari pasaran yang mengelilingi Kliwon (sebagai pancer atau pusat diri). Mengintegrasikan dan menyelaraskan energi dari kelima elemen ini dianggap penting untuk mencapai keutuhan diri dan spiritualitas.

Pasan dalam Pendidikan Karakter dan Kearifan Lokal

Meskipun sering dianggap sebagai bagian dari tradisi "kuno," sistem pasan sebenarnya menyimpan banyak nilai-nilai pendidikan karakter yang relevan hingga saat ini. Ia mengajarkan tentang:

Kearifan lokal yang terkandung dalam pasan adalah pelajaran berharga bagi generasi muda untuk tidak melupakan akar budaya mereka, sekaligus memahami bagaimana nenek moyang mereka memahami dunia dan menjalani kehidupan dengan penuh makna. Ini adalah jembatan antara masa lalu, kini, dan masa depan, yang terus memberikan orientasi bagi perjalanan hidup manusia.

Tantangan dan Adaptasi Pasan di Era Modern

Di era globalisasi dan modernisasi, sistem pasan menghadapi tantangan besar. Dominasi kalender Masehi dalam kehidupan sehari-hari, perubahan gaya hidup, dan berkurangnya peran pasar tradisional sedikit banyak mengikis pemahaman dan praktik pasan di kalangan masyarakat, terutama di perkotaan.

Namun, di sisi lain, kesadaran akan pentingnya melestarikan warisan budaya juga semakin tumbuh. Banyak komunitas adat, pegiat budaya, dan bahkan akademisi yang terus mengkaji, mendokumentasikan, dan mempromosikan nilai-nilai pasan. Aplikasi digital yang menghitung weton dan primbon juga mulai bermunculan, menunjukkan upaya adaptasi agar pasan tetap relevan di tengah kemajuan teknologi.

Pasan tidak harus dipahami secara harfiah sebagai "ramalan" yang dogmatis, melainkan sebagai sebuah sistem interpretasi yang kompleks, sebuah cara pandang (weltanschauung) yang mengajarkan manusia untuk lebih peka terhadap energi alam, diri sendiri, dan sesama. Ia adalah alat untuk merefleksikan diri, mengambil keputusan dengan bijak, dan menjalani hidup dengan penuh keselarasan.

Upaya pelestarian pasan tidak hanya berhenti pada ritual atau perhitungan, tetapi juga pada internalisasi nilai-nilai filosofisnya. Bagaimana kita bisa belajar tentang keseimbangan, harmoni, dan pentingnya komunitas dari sistem pasan? Bagaimana kita bisa mengintegrasikan kearifan lokal ini ke dalam pendidikan dan kehidupan modern tanpa kehilangan esensinya? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang terus relevan dan menantang untuk dijawab.

Interpretasi Lain dari "Pasan" dan Kaitannya

Selain merujuk pada lima hari pasaran Jawa, kata "pasan" juga memiliki interpretasi lain dalam konteks kebahasaan dan budaya yang memperkaya pemahaman kita tentang warisan ini. Memahami nuansa-nuansa ini membantu kita melihat pasan bukan hanya sebagai sistem penanggalan, tetapi sebagai konsep yang lebih luas.

1. "Pasan" sebagai "Pesan" atau Amanat

Dalam bahasa Indonesia, "pesan" berarti amanat, perintah, atau nasihat yang disampaikan. Hari-hari pasaran itu sendiri dapat diinterpretasikan sebagai "pesan" dari alam atau leluhur. Setiap hari Legi, Pahing, Pon, Wage, atau Kliwon membawa "pesan" tersendiri mengenai energi, potensi, atau kehati-hatian yang perlu diperhatikan. Sebagai contoh:

Dengan demikian, menjalani hidup sesuai dengan siklus pasan berarti selalu menerima dan menindaklanjuti "pesan" yang datang dari alam semesta. Ini adalah bentuk komunikasi non-verbal antara manusia dan lingkungannya, sebuah ajakan untuk hidup selaras dengan ritme kosmik.

Lebih jauh lagi, pasar itu sendiri, sebagai tempat di mana orang "berpasan" (bertemu) dan bertukar informasi, adalah pusat penyampaian "pesan". Berita-berita penting, informasi mengenai harga komoditas, kabar keluarga, hingga gosip desa, semuanya adalah "pesan" yang mengalir deras di hari-hari pasaran. Pasar menjadi semacam media massa tradisional, di mana informasi disampaikan secara lisan dan menyebar luas di antara komunitas.

2. "Berpasan" sebagai Bertemu atau Berpapasan

Kata "berpasan" berarti berpapasan atau bertemu. Konsep ini sangat relevan dengan fungsi pasar tradisional sebagai tempat pertemuan sosial. Di hari pasaran, masyarakat dari berbagai penjuru bertemu, baik untuk tujuan ekonomi maupun sosial. Pertemuan ini tidak hanya sebatas transaksi jual beli, tetapi juga menciptakan interaksi yang lebih dalam.

Dengan demikian, pasar pada hari pasaran adalah arena di mana kehidupan sosial masyarakat terjalin erat. Ini adalah tempat di mana manusia "berpasan" dengan sesama, dengan alam, dan bahkan dengan aspek-aspek spiritual dari keberadaan mereka. Kehadiran pasar sebagai pusat sosial ini juga secara tidak langsung menguatkan siklus pasan sebagai penanda waktu yang penting.

3. "Pasangan" dan Sinkretisme Kalender

Istilah "pasangan" juga dapat merujuk pada kombinasi hari dalam kalender Jawa (Pancawarna) dengan hari dalam kalender Islam atau Masehi (Saptawara, tujuh hari). Kombinasi ini menghasilkan weton, seperti Jumat Kliwon, Selasa Pon, Sabtu Pahing, dan seterusnya. Ini adalah "pasangan" hari yang menciptakan makna baru dan lebih spesifik.

Sinkretisme kalender ini menunjukkan bagaimana masyarakat Jawa berupaya menyelaraskan berbagai pengaruh budaya dan agama. Kalender Islam, dengan hari Jumat sebagai hari yang mulia, dipadukan dengan Kliwon, hari paling sakral dalam Pancawarna, menghasilkan "Jumat Kliwon" yang memiliki aura mistis dan spiritual yang sangat kuat dalam kepercayaan Jawa.

Setiap "pasangan" weton ini memiliki karakteristik uniknya sendiri, yang kemudian menjadi dasar perhitungan primbon. Keunikan dari setiap pasangan ini membentuk identitas individu dan menentukan "garis takdir" atau potensi yang dimilikinya. Ini adalah cerminan dari kemampuan budaya Jawa untuk mengasimilasi dan menciptakan sintesis baru yang relevan dengan konteks lokal.

Studi Kasus: Contoh Konkret Pengaruh Pasan

Untuk lebih memahami bagaimana pasan bekerja dalam praktik, mari kita lihat beberapa contoh konkret:

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa pasan bukan sekadar teori, tetapi sebuah sistem panduan yang hidup dan terus dipraktikkan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa, dari yang paling profan hingga yang paling sakral.

Kesimpulan: Pasan sebagai Jati Diri Nusantara

Sistem pasan, dengan segala kompleksitas dan kedalamannya, adalah sebuah cerminan kekayaan peradaban Nusantara yang tak ternilai. Ia adalah warisan budaya yang mampu bertahan melintasi zaman, beradaptasi, dan terus memberikan makna bagi kehidupan. Pasan bukan hanya sekadar siklus lima hari, melainkan sebuah filosofi hidup yang mengajarkan tentang keseimbangan, harmoni dengan alam, pentingnya komunitas, dan pencarian spiritual.

Dalam setiap Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon, terkandung "pesan" dari leluhur dan alam semesta, sebuah undangan untuk merenung, bertindak, dan menyelaraskan diri dengan ritme kosmos. Ia mengingatkan kita bahwa di balik hiruk-pikuk kehidupan modern, masih ada kearifan kuno yang menunggu untuk digali dan dipahami.

Melestarikan pasan berarti menjaga salah satu pilar jati diri Nusantara, memastikan bahwa generasi mendatang tidak kehilangan jejak akan kearifan yang telah membentuk bangsa ini. Pasan adalah bukti bahwa pengetahuan tidak selalu datang dari buku-buku tebal, tetapi juga dari pengamatan mendalam terhadap alam, dari tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, dan dari upaya manusia untuk memahami tempatnya di alam semesta.

Jadi, ketika kita mendengar atau melihat hari "pasan" Legi, Pahing, Pon, Wage, atau Kliwon, mari kita melihatnya bukan hanya sebagai penanda waktu biasa, tetapi sebagai jendela menuju kedalaman filosofi Jawa, sebuah warisan tak benda yang tak henti-hentinya mengajarkan kita tentang kehidupan, keseimbangan, dan makna keberadaan.

Memahami pasan berarti memahami sebagian besar dari apa yang membuat kebudayaan Jawa begitu unik, begitu kaya, dan begitu spiritual. Ini adalah undangan untuk terus belajar, untuk terus menggali, dan untuk terus merayakan keindahan kearifan lokal yang abadi.

🏠 Homepage