Al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam yang berisi petunjuk hidup dan pedoman moral bagi seluruh umat manusia. Memahami setiap ayat Al-Qur'an, terutama yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia dan pengelolaan harta, adalah sebuah kewajiban. Surah An-Nisa', yang berarti "Wanita", merupakan salah satu surah Madaniyah yang sarat dengan ajaran mengenai keluarga, hak-hak wanita, dan keadilan sosial. Di dalam surah ini, terdapat ayat-ayat kunci yang membahas secara spesifik tentang pemberian mahar kepada wanita, hak-hak anak yatim, dan kaidah-kaidah dalam pembagian warisan. Ayat 4 hingga 9 dari Surah An-Nisa' ini menyimpan makna mendalam yang relevan hingga kini.
Ayat keempat dari Surah An-Nisa' berbunyi:
"Kemudian, berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskawin (mahar) mereka sebagai suatu pemberian yang diwajibkan oleh Allah. Jika mereka memberikan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati."
Ayat ini secara tegas menjelaskan kewajiban bagi seorang suami untuk memberikan mahar kepada istrinya. Mahar bukanlah hadiah semata, melainkan hak yang wajib dipenuhi. Pemberian mahar menunjukkan penghargaan dan komitmen seorang suami kepada istrinya, serta sebagai tanda keseriusan dalam membina rumah tangga. Penting untuk dicatat bahwa nilai mahar tidak harus selalu besar, tetapi yang terpenting adalah ketulusan dan kerelaan dalam memberikannya. Ayat ini juga memberikan keringanan: jika sang istri dengan ikhlas memberikan kembali sebagian atau seluruh maharnya kepada suami, maka suami berhak menerimanya dan hal tersebut menjadi sah serta halal. Ini mengajarkan pentingnya hubungan yang didasari rasa saling percaya dan kerelaan dalam rumah tangga.
Selanjutnya, ayat kelima dari Surah An-Nisa' menyoroti perhatian terhadap anak yatim dan harta mereka:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum mampu (secara hukum) harta (milik) mereka yang ada padamu, (yang dijadikan) pokok kehidupan. Berilah mereka rezeki dan pakaian dari (harta itu) dan bertuturlah kepada mereka perkataan yang baik."
Ayat ini memberikan peringatan keras agar tidak sembarangan menyerahkan harta milik anak yatim kepada orang yang dianggap belum cakap atau belum matang dalam mengelolanya. Pengelolaan harta anak yatim haruslah dilakukan oleh wali yang amanah dan kompeten. Tujuannya adalah agar harta tersebut tidak habis dan justru merugikan si anak yatim. Ayat ini mengajarkan kita untuk menjaga amanah, terutama harta yang menjadi sumber penghidupan bagi mereka yang masih membutuhkan perlindungan. Pemberian rezeki, pakaian, dan perkataan yang baik adalah bentuk perhatian dan kasih sayang yang harus diberikan kepada anak yatim yang berada dalam pengasuhan.
Ayat keenam masih melanjutkan pembahasan tentang anak yatim, menekankan pentingnya pengujian sebelum menyerahkan harta:
"Dan ujilah (kemampuan) anak-anak yatim itu sampai mereka siap kawin. Apabila menurut penilaianmu mereka telah cerdas dan mampu mengurus harta sendiri, maka serahkanlah kepada mereka harta benda mereka. Dan janganlah kamu memakannya (hartanya) secara boros dan tergesa-gesa sebelum mereka dewasa. Siapa (di antara penjaga) yang kaya, hendaklah menahan diri (dari memakan harta anak yatim); dan siapa (di antara penjaga) yang miskin, boleh makan harta itu sekadarnya, sesuai dengan kadar kepatutannya. Apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, hendaklah kamu mengadakan saksi atas mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (perhitungan)."
Ayat ini mengajarkan prinsip pengujian kematangan anak yatim sebelum harta mereka diserahkan sepenuhnya. "Siap kawin" dalam konteks ini merujuk pada pencapaian usia baligh dan juga kedewasaan akal serta kemampuan mengelola harta. Penjaga harta haruslah sabar dan tidak tergesa-gesa dalam menyerahkan harta tersebut. Bahkan, jika penjaga itu sendiri dalam kondisi miskin, ia hanya boleh mengambil secukupnya dari harta anak yatim sebagai imbalan atas pengelolaannya, dan itu pun harus dilakukan dengan cara yang baik dan proporsional. Jika penjaga itu kaya, ia tidak berhak mengambil sepeser pun dari harta anak yatim. Sebelum harta diserahkan, disunnahkan untuk mengadakan saksi sebagai bukti. Ini menunjukkan betapa Islam sangat menjaga hak-hak anak yatim dan memastikan keadilan dalam setiap aspek pengelolaan harta mereka.
Ayat ketujuh dan kedelapan Surah An-Nisa' membahas lebih lanjut mengenai pembagian warisan, menekankan keadilan bagi semua pihak, termasuk wanita dan anak-anak:
"Bagi laki-laki ada bagian (hak waris) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat, dan bagi perempuanpun ada bagian (hak waris) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan."
"Dan apabila pada waktu pembagian warisan hadir kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu sekadarnya dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik."
Ayat-ayat ini merupakan dasar hukum pembagian warisan dalam Islam. Islam telah menetapkan porsi hak waris yang jelas bagi laki-laki dan perempuan, baik dari orang tua maupun kerabat lainnya. Hal ini merupakan bukti keadilan Islam yang memberikan hak kepada setiap individu sesuai dengan kedudukannya. Pemberian hak waris ini berlaku baik harta yang ditinggalkan sedikit maupun banyak, karena semuanya adalah bagian yang telah ditetapkan oleh Allah. Ayat kedelapan menambahkan etika penting dalam proses pembagian warisan: jika ada kerabat, anak yatim, atau orang miskin yang hadir pada saat pembagian, mereka berhak diberi sebagian dari harta tersebut sebagai bentuk kepedulian dan silaturahmi. Ini mengajarkan bahwa harta warisan bukan hanya urusan penerima hak waris semata, tetapi juga mengandung unsur berbagi dan berbuat baik kepada sesama.
Menutup rangkaian ayat penting ini, ayat kesembilan memberikan peringatan keras terhadap siapa saja yang menyalahgunakan atau menzalimi harta anak yatim:
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka (keturunan) anak-anak yang lemah, (yang mereka khawatirkan keadaan) mereka. Maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar."
Ayat ini adalah pengingat bagi para penjaga harta anak yatim, atau bahkan bagi siapapun yang mungkin berada dalam posisi menguasai harta orang lain. Allah memerintahkan agar mereka merasakan kekhawatiran yang sama, seolah-olah mereka memiliki anak-anak lemah yang mereka tinggalkan dan khawatir akan nasib mereka. Ketakutan dan kekhawatiran terhadap nasib anak-anak ini harus mendorong mereka untuk bertakwa kepada Allah dan senantiasa mengucapkan perkataan yang jujur serta menjaga amanah dengan baik. Siapa pun yang menzalimi anak yatim akan merasakan akibatnya di dunia maupun akhirat. Ini adalah peringatan tegas yang menekankan tanggung jawab moral dan spiritual dalam melindungi yang lemah dan menjaga keadilan.
QS An Nisa ayat 4-9 memberikan gambaran komprehensif tentang beberapa aspek krusial dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama, yaitu pernikahan, perlindungan anak yatim, dan pembagian warisan. Ayat-ayat ini bukan hanya sekadar bacaan, melainkan pedoman hidup yang harus dihayati dan diamalkan. Dari kewajiban mahar sebagai simbol penghargaan dalam pernikahan, hingga amanah untuk menjaga dan mengelola harta anak yatim dengan adil dan bijaksana, serta penetapan hak waris yang adil bagi seluruh anggota keluarga.
Pesan utama yang dapat diambil adalah pentingnya keadilan, kejujuran, dan rasa empati dalam setiap interaksi, terutama terhadap pihak yang lebih lemah. Memahami dan mengamalkan ajaran dalam ayat-ayat ini akan membawa keberkahan bagi individu, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan. Semoga kita dapat senantiasa mengambil hikmah dari firman Allah dan menjadikannya panduan dalam setiap langkah kehidupan kita.