Dunia berputar cepat, informasi menyambar secepat kilat di ujung jari. Namun, di salah satu gedung megah yang konon menjadi jantung demokrasi kita, seolah waktu bergerak dengan ritme yang berbeda—ritme yang seringkali jauh dari hiruk pikuk kebutuhan rakyat yang diwakilinya. Inilah panggung bagi para wakil rakyat, tempat aspirasi seharusnya dibentuk menjadi kebijakan nyata.
Seringkali kita mendengar narasi tentang rapat maraton, pembahasan alot, dan produk hukum yang dihasilkan. Namun, jika kita perhatikan lebih dekat, bayangan transparansi kerap kali memudar, digantikan oleh kabut tebal jargon-jargon politik yang sulit dicerna akal sehat. Ketika rakyat menagih pertanggungjawaban atas anggaran yang fantastis, respons yang didapat hanyalah selimut formalitas. Bukankah ironis, mereka yang dibayar untuk mendengar, justru terdengar paling sunyi ketika dibutuhkan?
Ilustrasi: Ruang Sidang yang Lebih Fokus pada Keheningan Daripada Hasil.
Di luar gerbang kompleks parlemen, kehidupan berjalan dengan segala kerumitannya: kemacetan yang tak terurai, biaya hidup yang terus merangkak naik, dan layanan publik yang seringkali tersendat. Namun, ketika isu-isu krusial ini dibawa ke forum resmi, seringkali kita disuguhi drama panggung politik yang energinya terkuras habis untuk hal-hal yang bersifat prosedural, bukan substansial. Setiap kali terjadi polemik besar, publik disuguhi pemandangan khas: anggota dewan yang secara kolektif tampak kebingungan, atau lebih parah, saling lempar tanggung jawab bak permainan bola panas.
Fenomena ‘seragam’ ini telah menciptakan semacam kekebalan tersendiri. Semakin sering janji tak terpenuhi, semakin tebal pula lapisan ketidakpedulian yang menyelimuti. Kita, sebagai konstituen, seolah hanya dibutuhkan saat momentum pesta demokrasi tiba. Setelah itu, hubungan transaksional tersebut berakhir, digantikan oleh hubungan patronase yang samar, di mana rakyat hanya bisa berharap dari balik layar televisi atau linimasa media sosial.
Mengapa rapat komisi seringkali mundur dari jadwal? Mungkin karena mereka sedang sibuk melakukan 'riset lapangan' mendalam, mencari tahu mengapa harga cabai di pasar lokal sangat berbeda dengan harga yang tercantum di laporan anggaran perjalanan dinas mereka.
Di era di mana informasi adalah kekuatan, transparansi seharusnya menjadi standar minimum. Namun, akses terhadap notulen rapat, data anggaran detail, atau rekam jejak kehadiran seringkali menjadi labirin yang harus ditembus dengan surat permohonan resmi yang berbelit-belit. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: jika tujuan utama adalah melayani publik, mengapa informasi publik harus dijaga seperti rahasia negara?
Tugas anggota dewan bukan sekadar menghadiri sidang fisik, tetapi juga menjadi duta digital yang proaktif. Jika kebijakan dibuat di balik pintu tertutup, dampaknya akan terasa di jalanan yang padat dan di kantong warga yang menipis. Kita butuh representasi yang mampu berdialog tanpa perlu menunggu 'undang-undang baru' untuk sekadar membuka data sederhana. Kita merindukan kinerja yang benderang, bukan hanya sorotan lampu sorot saat mereka turun dari mobil dinas.
Pada akhirnya, sindiran ini bukan ditujukan untuk menghancurkan, melainkan untuk mengingatkan. Sebuah kursi parlemen adalah amanah kehormatan tertinggi, bukan sekadar batu loncatan karier atau lahan pengabdian pribadi. Rakyat menanti kesadaran kolektif bahwa kebijakan yang baik lahir dari keterbukaan, bukan dari keheningan ruang paripurna yang hanya terdengar sorak sorai sesaat. Mari kita lihat, kapan "lentera sunyi" itu akan benar-benar menyala terang menerangi maksud dan tujuan sesungguhnya dari sebuah lembaga perwakilan rakyat.