Dalam lautan Al-Qur'an yang penuh dengan petunjuk Ilahi, terdapat ayat-ayat yang memiliki kedalaman makna dan relevansi abadi bagi kehidupan umat manusia. Salah satunya adalah Surah An Nisa ayat 65. Ayat ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah fondasi penting yang menjelaskan hakikat keimanan yang benar dan konsekuensi dari penolakan terhadap kebenaran mutlak. Memahami ayat ini secara mendalam akan membuka jendela pemahaman kita tentang bagaimana Islam memandang keyakinan, keadilan, dan peran kenabian.
لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima (putusan itu) dengan sepenuhnya." (QS. An Nisa: 65)
Surah An Nisa ayat 65 secara gamblang menyatakan bahwa keimanan yang sejati tidak akan terwujud kecuali melalui tiga pilar utama. Pertama, manusia harus bersedia menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai hakim dalam setiap perselisihan yang mereka hadapi. Ini bukan hanya tentang menganggap beliau sebagai tokoh sejarah, tetapi sebagai sumber otoritas tertinggi dalam perkara agama dan kehidupan. Keputusan dan ajaran beliau, yang bersumber dari wahyu Allah, harus diterima sebagai pedoman.
Kedua, setelah keputusan atau ajaran Nabi Muhammad SAW diterima, seorang mukmin tidak boleh merasakan keraguan atau ketidakpuasan dalam hatinya. Ini menuntut adanya keyakinan yang kuat bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah adalah kebenaran dan kebaikan yang sempurna. Penolakan halus, rasa keberatan tersembunyi, atau mencari-cari celah dalam putusan tersebut adalah tanda bahwa keimanan belum sepenuhnya meresap. Keimanan yang murni menuntut ketenangan batin dan penerimaan mutlak.
Ketiga, ayat ini menekankan pentingnya "tasliman" atau penyerahan diri yang total. Ini berarti tidak hanya secara lisan menyatakan setuju, tetapi juga secara tulus dan ikhlas menerima serta mengamalkan apa yang telah diputuskan. Penyerahan diri ini mencakup seluruh aspek kehidupan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi di dalam hati.
Meskipun ayat ini diturunkan pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup dan menjadi pemimpin langsung umat, maknanya tetap relevan hingga akhir zaman. Dalam konteks modern, menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai hakim berarti merujuk kepada Sunnah (ajaran dan praktik) beliau yang telah terekam dalam hadis-hadis shahih. Ketika menghadapi berbagai persoalan hidup, baik itu masalah pribadi, sosial, ekonomi, maupun hukum, seorang Muslim dituntut untuk mencari solusi berdasarkan panduan Al-Qur'an dan Sunnah.
Ayat ini secara tegas menolak sikap pilih kasih atau mengutamakan hawa nafsu di atas ajaran agama. Ia menyoroti pentingnya keadilan yang bersumber dari wahyu Ilahi. Penolakan terhadap kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah, bahkan dalam bentuk ketidakpuasan batin, merupakan indikator kelemahan iman. Hal ini mengajak kita untuk senantiasa introspeksi diri, membersihkan hati dari keraguan, dan memperkuat keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna.
Selain itu, Surah An Nisa ayat 65 juga mengajarkan tentang pentingnya integritas dalam beragama. Keimanan tidak hanya diukur dari ibadah ritual semata, tetapi juga dari kemampuan untuk menerapkan ajaran agama dalam setiap aspek kehidupan dan menerima kepemimpinan wahyu tanpa syarat. Ini adalah sebuah tantangan bagi setiap Muslim untuk terus belajar, memahami ajaran agamanya, dan menerapkannya dengan penuh kesungguhan.
Memahami dan mengamalkan Surah An Nisa ayat 65 akan membawa ketenangan jiwa dan kebahagiaan sejati. Ketika hati kita sepenuhnya menyerah pada kehendak Allah dan ajaran Rasul-Nya, kita akan menemukan kedamaian dan jalan keluar dari setiap kesulitan. Ayat ini adalah pengingat abadi bahwa keimanan yang kokoh dibangun di atas dasar kepatuhan, penerimaan, dan penyerahan diri yang tulus. Ia adalah manifestasi dari hakikat "Islam" itu sendiri, yaitu keselamatan melalui penyerahan diri kepada Pencipta.