Simbol ketauhidan dan kebaikan
Dalam Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang menjadi panduan hidup bagi umat Islam. Salah satu surat yang sarat akan ajaran fundamental adalah Surat An Nisa. Khususnya pada ayat 36 dan 37, Allah SWT memberikan penekanan yang luar biasa terhadap dua pilar utama, yaitu tauhid (mengesakan Allah) dan pentingnya berbuat baik kepada sesama.
Ayat 36 Surat An Nisa diawali dengan perintah tegas untuk menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Ini adalah inti dari ajaran Islam, fondasi di mana seluruh amalan seorang Muslim dibangun. Perintah ini juga diperkuat dengan larangan keras terhadap perbuatan syirik, yaitu menyekutukan Allah dengan makhluk lain, baik itu patung, berhala, jin, nabi, orang saleh, atau kekuatan gaib lainnya.
Perintah untuk menyembah Allah SWT adalah bentuk pengabdian tertinggi. Islam mengajarkan bahwa segala bentuk penyembahan, doa, harapan, dan ketakutan hendaknya hanya ditujukan kepada Sang Pencipta. Menyekutukan-Nya berarti mengingkari keagungan dan kekuasaan-Nya, serta menempatkan sesuatu yang diciptakan setara dengan Sang Pencipta.
Larangan syirik ini sangat fundamental. Di dalam Al-Qur'an, syirik sering kali digambarkan sebagai dosa terbesar yang tidak akan diampuni jika pelakunya meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat.
Setelah menegaskan perintah tauhid, ayat 36 ini langsung beralih pada perintah untuk berbuat baik kepada berbagai golongan manusia. Ini menunjukkan betapa eratnya kaitan antara keimanan yang benar (tauhid) dengan akhlak mulia dan kepedulian terhadap sesama. Seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah akan termotivasi untuk mengamalkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupannya sehari-hari.
Golongan-golongan yang disebutkan dalam ayat ini mencakup:
Selain itu, ayat ini juga menekankan larangan bagi orang yang sombong dan membanggakan diri. Kesombongan adalah penyakit hati yang dapat merusak hubungan dengan Allah dan sesama. Ia menghalangi seseorang untuk berbuat baik dan menerima kebenaran.
Ayat 37 Surat An Nisa, meskipun sering kali dibaca bersamaan dengan ayat 36, lebih spesifik membahas tentang sikap dan adab kaum Muslimin terhadap perintah-perintah Allah dan larangan-Nya, serta pentingnya pertanggungjawaban perbuatan.
Ayat ini merupakan peringatan keras bagi mereka yang masih enggan tunduk pada perintah Allah, tetap berpegang pada kesyirikan, dan mengabaikan hak-hak sesama. Konsekuensi dari penolakan dan kesombongan tersebut adalah laknat Allah. Laknat Allah berarti dijauhkan dari rahmat dan pertolongan-Nya.
Penting untuk dicatat bahwa ayat-ayat ini tidak hanya berbicara tentang ritual ibadah semata, tetapi juga tentang bagaimana seorang Muslim harus bersikap dalam interaksi sosialnya. Tauhid yang benar akan membuahkan akhlak yang mulia, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Surat An Nisa ayat 36 dan 37 memberikan pelajaran berharga bagi umat Islam. Pertama, penegasan tentang keharusan menyembah Allah semata dan menjauhi segala bentuk syirik sebagai pondasi keimanan yang kokoh. Kedua, perintah untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada seluruh lapisan masyarakat, mulai dari keluarga, tetangga, hingga mereka yang membutuhkan. Keduanya saling melengkapi; keimanan yang benar akan melahirkan akhlak yang luhur, dan akhlak yang mulia akan menjadi bukti nyata dari kebenaran keimanan seseorang.
Mari kita renungkan makna ayat-ayat ini dan jadikan sebagai pedoman dalam kehidupan kita, agar senantiasa menjadi hamba Allah yang bertauhid dan berakhlak mulia.