Menyingkap Hikmah di Balik Surat An Nisa Ayat 97

Surat An Nisa merupakan salah satu surat Madaniyyah yang memiliki kedalaman makna dan cakupan ajaran yang luas. Di dalamnya terdapat berbagai ayat yang mengatur aspek kehidupan individu dan sosial umat Islam. Salah satu ayat yang sering menjadi bahan perenungan dan kajian adalah Surat An Nisa ayat 97. Ayat ini secara spesifik berbicara mengenai orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan dhalim terhadap diri mereka sendiri, serta balasan yang akan mereka terima. Memahami makna mendalam dari ayat ini bukan hanya penting untuk memperkaya khazanah keislaman kita, tetapi juga sebagai pedoman untuk mengoreksi diri dan berupaya menjadi hamba yang lebih baik.

Ayat 97 dari Surat An Nisa berbunyi:

"إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ۖ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا"
"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (kepada diri mereka), (malaikat) bertanya kepada mereka: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". (Karena perbuatan mereka itu) tempat kembali mereka ialah neraka Jahanam, dan amat buruklah tempat kembali itu."

Penafsiran ayat ini, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama tafsir seperti Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, dan lainnya, memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai kondisi dan konsekuensi bagi mereka yang diwafatkan dalam keadaan dhalim terhadap diri sendiri. Istilah "menganiaya diri sendiri" (ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ) dalam konteks ini merujuk pada berbagai perbuatan dosa dan kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang selama hidupnya, yang menyebabkan dirinya jauh dari rahmat Allah. Ini bisa berupa kekufuran, kemusyrikan, meninggalkan kewajiban agama, melakukan kezaliman terhadap sesama, atau perbuatan buruk lainnya yang merusak dirinya sendiri.

Ketika malaikat maut menjemput mereka, akan ada dialog singkat. Dalam dialog tersebut, orang-orang yang dimaksud akan berkelit dengan menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang tertindas (مُسْتَضْعَفِينَ). Mereka merasa tidak memiliki pilihan lain selain tetap berada di tempat mereka, sekalipun di sana banyak kemaksiatan atau ajaran Islam tidak bisa diamalkan dengan sempurna. Mereka berdalih bahwa kondisi yang lemah dan tertindas itulah yang membuat mereka tidak mampu berhijrah atau melakukan perbaikan.

Namun, Allah melalui firman-Nya dalam ayat ini membantah alasan tersebut. Malaikat akan mengingatkan mereka bahwa bumi Allah itu luas (أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً). Pernyataan ini memiliki makna yang sangat dalam. Luasnya bumi Allah menyiratkan bahwa selalu ada kesempatan dan tempat untuk berhijrah. Hijrah bukan hanya sekadar perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain demi menyelamatkan akidah atau memperbaiki kehidupan. Hijrah juga bisa berarti perpindahan dari satu keadaan buruk ke keadaan yang lebih baik, dari kegelapan menuju cahaya, dari kemaksiatan menuju ketaatan.

Jika seseorang memiliki kemampuan untuk berhijrah demi agamanya, demi menyelamatkan diri dari lingkungan yang buruk, atau demi mencari ilmu dan kebaikan, namun ia memilih untuk tetap diam dan pasrah dalam keadaan dhalim, maka ia akan bertanggung jawab atas pilihannya. Alasan "terjajah" atau "terkekang" tidak akan diterima jika masih ada peluang untuk mencari kebaikan. Ini adalah peringatan keras bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab atas pilihannya sendiri dan tidak bisa sepenuhnya menyalahkan faktor eksternal tanpa berusaha.

Konsekuensi dari ketidakmauan untuk berhijrah (padahal ada kemampuan) dan terus berada dalam kondisi yang dhalim terhadap diri sendiri adalah tempat kembali mereka di akhirat kelak adalah neraka Jahanam (فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ). Neraka Jahanam digambarkan sebagai tempat kembali yang paling buruk (وَسَاءَتْ مَصِيرًا). Ini menekankan betapa seriusnya dosa menganiaya diri sendiri dengan tidak mengambil tindakan perbaikan ketika ada kesempatan.

Hikmah yang dapat dipetik dari Surat An Nisa ayat 97 ini sangatlah relevan bagi kehidupan kita di masa kini. Di era globalisasi dan kemudahan akses informasi, kita dihadapkan pada berbagai pilihan dan lingkungan yang terkadang menguji keimanan. Lingkungan yang dipenuhi godaan, kemaksiatan, atau ketidakadilan memang bisa membuat seseorang merasa sulit untuk berbuat baik. Namun, ayat ini mengingatkan kita untuk tidak pasrah begitu saja. Kita harus terus mencari celah dan peluang untuk berhijrah, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.

Jika kita tidak bisa hijrah ke negeri yang lebih baik, setidaknya kita bisa melakukan hijrah batin: meninggalkan kebiasaan buruk, memperdalam ilmu agama, meningkatkan ibadah, dan bergaul dengan orang-orang shalih. Jika kita tidak bisa mengubah lingkungan secara keseluruhan, kita bisa berusaha menciptakan lingkungan yang lebih positif di sekitar kita. Intinya, kita dituntut untuk proaktif dalam menyelamatkan diri dari segala bentuk kezaliman terhadap diri sendiri.

Ayat ini juga mengajarkan pentingnya memiliki kesadaran diri yang tinggi. Kita perlu terus-menerus mengevaluasi diri, apakah tindakan dan pilihan kita selama ini telah membawa kita lebih dekat kepada Allah atau justru menjauhkan. Ketidakpedulian terhadap dosa atau keberlanjutan dalam kemaksiatan tanpa ada upaya untuk bertaubat dan memperbaiki diri, adalah bentuk kezaliman yang paling fatal.

Dengan merenungi Surat An Nisa ayat 97, semoga kita senantiasa diberikan kekuatan untuk menyadari kesalahan, keberanian untuk berubah, dan kemampuan untuk memanfaatkan setiap kesempatan yang Allah berikan demi kebaikan dunia dan akhirat kita. Marilah kita jadikan ayat ini sebagai pengingat untuk selalu berjuang di jalan kebenaran, mencari keridhaan-Nya, dan menghindari segala sesuatu yang dapat mendhalimi diri kita sendiri.

Simbol abstrak mewakili keadilan dan keseimbangan dalam Islam
Ilustrasi simbolis keadilan dan upaya perbaikan diri.
🏠 Homepage