Ilmu sebagai penerang jalan.
Dalam Al-Qur'an, setiap ayat mengandung hikmah dan petunjuk yang mendalam bagi umat manusia. Salah satu ayat yang sering ditekankan dalam konteks pencarian kebenaran dan otoritas spiritual adalah Surah An Nahl ayat 43. Ayat ini memiliki pesan universal yang sangat relevan, terutama di era informasi saat ini.
Ayat 43 dari Surah An Nahl (Lebah) turun sebagai penegasan terhadap pentingnya merujuk kepada sumber otoritatif ketika menghadapi persoalan yang berada di luar batas pengetahuan pribadi. Sebelum ayat ini, Allah SWT telah memberikan contoh tentang bagaimana umat terdahulu sering menyimpang karena mengikuti hawa nafsu atau tradisi buta tanpa ilmu yang benar.
Secara historis, ayat ini sering dikaitkan dengan konteks para musyrikin Mekkah yang mempertanyakan kenabian Muhammad SAW. Allah memerintahkan beliau (dan secara implisit, umatnya) untuk merujuk kepada para ahli Taurat dan Injil yang terdahulu—asalkan mereka memegang teguh ilmu yang benar—sebagai bukti otentisitas kenabian Muhammad SAW. Inti pesan utamanya adalah: Jika Anda tidak tahu, cari tahu dari ahlinya.
Kata kunci dalam ayat ini adalah "Ahludz Dzikr". Secara harfiah, ini berarti "orang-orang yang memiliki peringatan" atau "orang-orang yang memiliki ilmu". Interpretasi mengenai siapa mereka telah berkembang seiring waktu dan konteks.
Dalam konteks keagamaan Islam, Ahludz Dzikr merujuk pada ulama, fuqaha (ahli fikih), dan cendekiawan yang memiliki pemahaman mendalam mengenai Al-Qur'an dan Sunnah. Mereka adalah penjaga warisan ilmu kenabian. Kepercayaan kepada mereka bukan berarti meniadakan peran berpikir kritis, melainkan mengakui bahwa keahlian membutuhkan proses belajar yang panjang dan ketekunan.
Namun, prinsip ini juga dapat diperluas ke disiplin ilmu lainnya. Ketika kita berbicara mengenai teknik mesin, kita bertanya kepada insinyur. Ketika kita berbicara tentang kesehatan, kita bertanya kepada dokter. Prinsipnya tetap sama: pengakuan terhadap spesialisasi dan otoritas ilmu dalam bidangnya masing-masing.
Di zaman serba cepat seperti sekarang, di mana setiap orang dapat mempublikasikan opini dan informasi melalui internet, An Nahl 43 menjadi semakin krusial. Kita dibanjiri dengan "fakta" yang belum terverifikasi, teori konspirasi, dan interpretasi subjektif. Fenomena ini sering disebut sebagai 'infodemik' atau 'post-truth'.
Ayat ini berfungsi sebagai filter sosial dan intelektual. Ketika dihadapkan pada isu-isu kompleks—baik itu masalah hukum, medis, hingga penafsiran ayat suci—perintah ilahi adalah untuk kembali kepada para ahli yang telah mendedikasikan hidup mereka untuk studi mendalam. Ini adalah penolakan terhadap sikap gegabah yang mempopulerkan ketidaktahuan.
Menghindari keraguan dan kesesatan dimulai dari kesadaran diri bahwa kita tidak mengetahui segalanya. Kesadaran ini (yang merupakan separuh dari ilmu) kemudian menuntun kita untuk bertanya. Bertanya kepada Ahludz Dzikr bukan sekadar mencari jawaban, tetapi mencari proses verifikasi dan validasi ilmiah atau keagamaan yang telah teruji.
An Nahl 43 juga mengajarkan etika dalam berinteraksi intelektual. Pertama, ia mendorong kerendahan hati (tawadhu') untuk mengakui ketidaktahuan. Kedua, ia menuntut tanggung jawab untuk mencari informasi dari sumber yang kredibel, bukan hanya dari sumber yang paling mudah diakses atau paling sesuai dengan prasangka awal kita.
Jika seorang muslim (atau individu secara umum) mempelajari suatu perkara, dan ia merasa ragu, maka jalan tercepat menuju kepastian adalah bertanya kepada mereka yang memiliki referensi yang kokoh. Kegagalan untuk bertanya kepada ahlinya dapat berujung pada kesalahan fatal, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, ayat ini adalah pilar utama dalam membangun masyarakat yang beradab dan berilmu pengetahuan.