Surah An Nisa, yang berarti "Wanita", adalah salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur'an dan sarat dengan ajaran yang mengatur berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan hukum dalam Islam. Di antara ayat-ayatnya yang mendalam, rentang ayat 10 hingga 20 secara khusus menyoroti prinsip-prinsip fundamental mengenai keadilan, hak-hak waris, serta perlindungan terhadap kaum yang rentan, terutama anak yatim.
Ayat-ayat ini tidak hanya memberikan panduan praktis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral yang luhur yang menjadi pilar bagi masyarakat yang adil dan harmonis.
Kekhawatiran terhadap nasib anak yatim menjadi salah satu fokus utama dalam Surah An Nisa ayat 10 dan 11. Ayat-ayat ini secara tegas memerintahkan orang-orang mukmin untuk tidak memakan harta anak yatim secara zalim. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka menelan api ke dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (QS. An Nisa: 10)
Ayat ini memberikan ancaman yang sangat keras bagi siapa pun yang merampas atau menyalahgunakan harta anak yatim. Ini mencerminkan betapa pentingnya menjaga amanah dan melindungi hak-hak mereka yang lemah dan kehilangan pelindung.
Selanjutnya, ayat 11 memberikan panduan rinci mengenai pembagian warisan, menekankan keadilan bagi laki-laki dan perempuan:
"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika (anaknya itu) perempuan semuanya lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; dan jika dia (anak perempuan) seorang diri, maka dia mendapat separuh (harta), dan untuk kedua ibu-bapanya, masing-masing mendapat seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak; jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian sedemikian rupa) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan) setelah (dibayar) utangnya. (Tentang) ibu-ibumu, anak-anakmu, bapak-bapakmu, anak-anak bapakmu, anak-anak ibumu, baik laki-laki maupun perempuan, dan warisan yang mereka tinggalkan, sebagian mereka (ahli waris) lebih berhak atas sebagian yang lain dalam (pembagian) kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. An Nisa: 11)
Ayat ini adalah landasan hukum Islam mengenai waris. Konsep "bagian laki-laki sama dengan dua bagian perempuan" seringkali dipahami dalam konteks tanggung jawab finansial laki-laki yang lebih besar dalam keluarga di masa itu. Namun, prinsip utamanya adalah keadilan dan pengaturan yang jelas agar tidak terjadi perselisihan, serta memastikan bahwa hak setiap ahli waris, termasuk ibu dan ayah, terpenuhi.
Rentang ayat An Nisa 10-20 terus menegaskan pentingnya keadilan dan kejujuran. Ayat 12 dan 13 mengatur pembagian warisan untuk suami dan istri, serta menetapkan bagian-bagian tertentu bagi mereka. Ini menunjukkan perhatian Islam terhadap kesejahteraan pasangan dan pengakuan atas hak-hak masing-masing dalam ikatan pernikahan.
Lebih lanjut, ayat 14 dan 15 menyoroti konsekuensi dari kekufuran dan perbuatan dosa. Allah SWT berjanji akan mengampuni siapa saja yang bertobat dan memperbaiki diri, tetapi menegaskan bahwa orang yang tetap durhaka akan menghadapi siksaan. Ini adalah pengingat akan pentingnya keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta konsekuensi dari pilihan hidup.
Ayat 16 memperkuat ajaran tentang pertobatan dan pengampunan, memberikan harapan bagi mereka yang ingin kembali ke jalan yang benar. Sementara itu, ayat 17-20 menekankan kembali keutamaan bertobat, pentingnya menghindari perbuatan dosa, dan bagaimana Islam memberikan kerangka kerja untuk kehidupan yang bermoral dan bertanggung jawab.
Ajaran dalam Surah An Nisa ayat 10-20 memiliki relevansi yang luar biasa bagi masyarakat kontemporer. Prinsip perlindungan anak yatim mengajarkan kita untuk memiliki empati dan tanggung jawab sosial terhadap mereka yang membutuhkan. Dalam konteks modern, ini bisa berarti mendukung lembaga-lembaga sosial, menjadi wali bagi anak yatim, atau sekadar memberikan perhatian dan bantuan materi.
Panduan mengenai waris menegaskan pentingnya perencanaan dan keadilan dalam pengelolaan aset keluarga, serta memastikan bahwa hak-hak setiap anggota keluarga, tanpa memandang jenis kelamin, dihormati. Ini dapat mendorong dialog terbuka mengenai warisan dan mencegah potensi konflik keluarga.
Lebih luas lagi, ayat-ayat ini menjadi pengingat abadi akan pentingnya berlaku adil dalam setiap transaksi, hubungan, dan keputusan. Keadilan, sebagaimana diajarkan dalam Islam, bukan hanya tentang hukum, tetapi juga tentang moralitas, empati, dan pemeliharaan kesejahteraan bersama. Dengan memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip ini, kita dapat berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang lebih berkeadilan, penyayang, dan harmonis.