Dalam Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang memberikan petunjuk dan tuntunan bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan. Salah satu ayat yang sarat makna dan memiliki kedalaman spiritual adalah Surah An-Nisa ayat 125. Ayat ini bukan sekadar pengingat, melainkan sebuah sumber kekuatan dan panduan untuk meraih ketenangan batin dan keberkahan dalam setiap langkah.
Ayat An-Nisa ayat 125 berbunyi:
Ayat ini secara gamblang menggambarkan tiga pilar utama dalam keimanan dan praktik agama yang membawa seseorang kepada ridha Allah. Pertama, "menyerahkan dirinya kepada Allah (menjadi Muslim yang taat)". Ini adalah pondasi utama, yaitu pengakuan dan kepasrahan mutlak kepada kehendak Tuhan. Menjadi Muslim yang taat bukan hanya sekadar pengakuan lisan, tetapi manifestasi dalam ketaatan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ini adalah wujud dari iman yang hidup dan aktif.
Pilar kedua yang disebutkan adalah "sedang dia berbudi pekerti". Frasa ini merujuk pada akhlak mulia, perbuatan baik, dan kebaikan budi. Islam sangat menekankan pentingnya moralitas dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Berbudi pekerti mencakup sikap jujur, adil, sabar, pemaaf, serta kasih sayang kepada sesama. Ketaatan ritual tanpa diimbangi akhlak yang baik akan terasa hampa. Sebaliknya, ketika iman diwujudkan dalam perbuatan baik, ia akan menjadi bukti kebenaran keyakinan seseorang dan membawa kebaikan bagi diri sendiri serta lingkungan.
Pilar ketiga yang tak kalah penting adalah "mengikuti agama Ibrahim yang lurus". Nabi Ibrahim 'alaihissalam adalah teladan keesaan Allah (tauhid) dan kemurnian akidah. Mengikuti agama Ibrahim berarti kembali kepada fitrah manusia yang bertauhid, menolak segala bentuk syirik atau penyekutuan terhadap Allah, serta menjalani hidup sesuai dengan ajaran agama yang murni yang dibawa oleh para nabi dan rasul, yang intinya adalah Islam. Ketiga aspek ini – ketundukan pada Allah, akhlak mulia, dan kemurnian akidah – saling terkait dan menguatkan satu sama lain.
Bagi seorang Muslim, An Nisa ayat 125 memberikan konsepsi yang jelas tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan. Menyerahkan diri kepada Allah berarti hidup dalam kesadaran bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Hal ini menumbuhkan sikap tawakal yang benar, yaitu berupaya semaksimal mungkin dalam ikhtiar, namun hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Keteguhan iman inilah yang menjadi benteng terkuat dalam menghadapi ujian dan cobaan hidup.
Selanjutnya, aspek berbudi pekerti mengajarkan bahwa ibadah tidak hanya terbatas pada ritual vertikal kepada Allah semata, tetapi juga mencakup ibadah horizontal kepada sesama manusia dan seluruh ciptaan. Perbuatan baik, sekecil apapun, memiliki nilai di sisi Allah jika didasari niat yang tulus dan dilakukan dengan ikhlas. Hal ini menciptakan harmoni dalam masyarakat dan menebarkan kedamaian.
Mengikuti agama Ibrahim yang lurus mengingatkan kita untuk selalu menjaga kemurnian akidah. Di tengah maraknya berbagai pemikiran dan aliran, penting untuk senantiasa kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber pedoman utama. Kesetiaan pada ajaran nabi Ibrahim adalah bukti komitmen untuk tetap berada di jalan yang diridhai Allah.
Puncak dari penghayatan An Nisa ayat 125 adalah ketika segala upaya yang dilakukan semata-mata untuk meraih ridha Allah. Ketika seseorang telah totalitas menyerahkan dirinya, berakhlak mulia, dan memegang teguh akidah, maka ridha Allah akan menjadi tujuan utamanya. Ridha Allah adalah sebaik-baik balasan dan puncak kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT, dalam ayat ini, menegaskan bahwa Dia mengambil Nabi Ibrahim sebagai kekasih-Nya, menunjukkan betapa besar nilai dan derajat orang yang memiliki sifat-sifat tersebut di hadapan-Nya.
An Nisa ayat 125 adalah kompas spiritual yang mengarahkan umat Islam menuju kehidupan yang bermakna, penuh ketenangan, dan meraih kebahagiaan hakiki. Dengan menginternalisasi ketiga pilar utama yang terkandung di dalamnya, kita dapat melangkah dengan penuh keyakinan di bawah naungan rahmat dan ridha Allah SWT.