Ayat Al-Qur'an memiliki kedalaman makna dan tuntunan yang tak terhingga. Salah satu ayat yang sering dibahas dan memiliki implikasi penting dalam kehidupan seorang Muslim adalah Surah An-Nisa ayat 97. Ayat ini berbicara tentang janji Allah bagi hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya, khususnya dalam konteks hijrah dan membela agama Allah.
"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat berkata: 'Dalam keadaan bagaimana kamu ini?' Mereka menjawab: 'Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri kami.' Malaikat berkata: 'Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?' Bagi orang-orang tersebut tempat tinggalnya ialah neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali."
An Nisa ayat 97 ini diturunkan berkaitan dengan kondisi umat Islam pada masa awal dakwah, di mana sebagian dari mereka tetap tinggal di Mekah bersama orang-orang kafir Quraisy meskipun memiliki kemampuan untuk berhijrah ke Madinah yang telah menjadi pusat kekuasaan Islam. Ayat ini secara tegas mengingatkan bahwa kelambanan untuk berhijrah, terutama ketika berada di lingkungan yang menghalangi dakwah atau bahkan menindas kaum Muslimin, merupakan bentuk menganiaya diri sendiri. Mengapa demikian? Karena dengan tidak berhijrah, mereka kehilangan kesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang lebih kondusif untuk menjalankan syariat Islam, memperkuat barisan kaum mukminin, dan berkontribusi pada kejayaan agama Allah.
Kata "menganiaya diri sendiri" (ظَالِمِيْٓ اَنْفُسِهِمْ) dalam ayat ini memiliki makna yang sangat luas. Bukan hanya berarti melakukan dosa-dosa besar, tetapi juga termasuk kelalaian dalam menjalankan kewajiban atau melewatkan kesempatan yang diberikan oleh Allah untuk kebaikan diri sendiri dan agama. Dalam konteks ayat ini, kesempatan tersebut adalah hijrah, yaitu berpindah dari lingkungan yang tidak kondusif kepada lingkungan yang lebih baik demi keselamatan iman dan kebebasan beribadah.
Tindakan malaikat yang menanyai mereka saat dicabut nyawanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" (فِيْمَ كُنْتُمْ ۗ), menunjukkan bahwa kondisi mereka saat itu tidaklah baik di mata Allah. Alasan yang mereka berikan, "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri kami" (كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِى الْاَرْضِ ۗ), memang bisa menjadi uzur. Namun, Allah melalui firman-Nya mengingatkan bahwa bumi Allah itu luas (اَلَمْ تَكُنْ اَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا ۗ). Ini adalah sebuah pertanyaan retoris yang sarat dengan teguran. Jika mereka merasa tertindas dan tidak bisa menjalankan agama dengan baik, mengapa tidak memanfaatkan keluasan bumi Allah untuk mencari tempat yang lebih baik dan aman?
Meskipun ayat ini turun dalam konteks spesifik hijrah dari Mekah ke Madinah, relevansinya tetap kuat hingga kini. Konsep "hijrah" dalam Islam tidak hanya terbatas pada perpindahan fisik. Secara kontemporer, hijrah dapat diartikan sebagai:
Ayat An Nisa ayat 97 mengingatkan kita bahwa alasan "terjebak" dalam kondisi buruk, lemah, atau tertindas tidak selalu menjadi pembenaran mutlak jika ada potensi untuk keluar dari kondisi tersebut. Allah memberikan kita akal, kekuatan, dan kesempatan. Kelambanan untuk memanfaatkan potensi tersebut untuk kebaikan diri dan agama dapat berakibat buruk, bahkan disamakan dengan menganiaya diri sendiri yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Al-Qur'an dan As-Sunnah banyak mengabarkan tentang keutamaan hijrah. Bagi orang yang berhijrah karena Allah, dijanjikan ampunan dosa, pahala yang besar, dan kedudukan yang mulia di sisi-Nya. Hijrah juga merupakan bukti keimanan yang tulus, pengorbanan demi agama, dan kekuatan tekad untuk meraih ridha Ilahi. Orang yang berhijrah bukan hanya menyelamatkan dirinya dari bahaya duniawi, tetapi juga dari siksa akhirat karena memilih untuk taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
An Nisa ayat 97 ini berfungsi sebagai pengingat keras bagi siapa saja yang mungkin terjebak dalam kemalasan, keputusasaan, atau ketakutan yang menghalanginya untuk bergerak maju dalam kebaikan. Penting bagi setiap Muslim untuk senantiasa mengevaluasi diri, apakah sudah memanfaatkan potensi yang diberikan Allah untuk memperbaiki diri dan berkontribusi pada kemaslahatan umat. Jika ada celah untuk berbuat lebih baik, maka janganlah menunda, karena keputusan untuk berhijrah menuju kebaikan adalah bentuk nyata kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta wujud pertanggungjawaban atas amanah kehidupan yang telah diberikan.
Dengan memahami makna An Nisa ayat 97, diharapkan umat Islam dapat senantiasa termotivasi untuk berhijrah dalam segala aspek kehidupan, dari keburukan menuju kebaikan, dari kelemahan menuju kekuatan, dan dari kesesatan menuju petunjuk-Nya, demi meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.