Ilustrasi kuli bangunan sedang menikmati waktu istirahat.
Liburan bagi pekerja konstruksi, para kuli bangunan yang setiap hari bergumul dengan semen, pasir, dan panas matahari, seringkali memiliki definisi yang unik dan sederhana. Mereka tidak selalu menghabiskan uang untuk tur mewah ke luar negeri. Bagi mereka, liburan adalah jeda total dari tekanan fisik dan debu proyek. Cerita-cerita dari lapangan tentang bagaimana mereka merayakan liburan singkat selalu penuh dengan humor dan kejujuran yang menyentuh.
Bagi Pak Budi, seorang mandor yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia konstruksi, liburan terpanjang adalah saat proyek selesai dan uang hasil jerih payah sudah terkumpul. "Liburan kami itu bukan soal lihat gunung atau pantai, Nak. Liburan itu artinya tidur tanpa dikejutkan bunyi molen jam enam pagi," ujarnya sambil tertawa renyah. Seringkali, liburan mereka adalah perjalanan pulang kampung menggunakan bus ekonomi dengan tiket yang sudah dibeli jauh-jauh hari—kadang sambil membawa sisa-sisa material yang dianggap ‘rezeki’ untuk perbaikan rumah.
Salah satu anekdot paling populer adalah tentang ‘liburan di tempat’. Ketika proyek pembangunan berhenti sementara karena cuaca buruk atau kekurangan material, para kuli akan mengubah lokasi proyek menjadi tempat peristirahatan dadakan. Mereka mendirikan tenda darurat dari terpal bekas, memasak mi instan di atas tungku kecil, dan bermain kartu di bawah naungan rangka baja yang belum terpasang. Suasana itu, meskipun dalam keterbatasan, seringkali lebih akrab dibandingkan liburan mewah.
Ada cerita dari seorang kuli bernama Jono yang baru pertama kali bekerja di kota metropolitan besar. Dia mengira liburannya akan diisi dengan mengunjungi monumen terkenal yang sering ia lihat di koran. Namun, kenyataannya berbeda. Saat libur sehari penuh, Jono menghabiskan waktu setengah hari mengamati orang-orang kaya yang keluar masuk mal mewah.
"Saya kira mal itu istana baru," kenang Jono. "Saya keliling di lantai dasar, melihat eskalator naik turun, takjub sendiri. Pulangnya, saya malah beli es teh manis termurah di pinggir jalan sambil merenung. Rasanya seperti nonton film 3D gratis." Anekdot ini menunjukkan bagaimana perspektif mereka terhadap kemewahan sangat kontras dengan realitas pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka adalah pembangun kota, namun seringkali hanya menjadi pengamat dari luar kemewahan yang mereka ciptakan.
Ketika liburan jatuh bersamaan dengan hari raya besar, para kuli biasanya akan menggunakan sisa-sisa uang transport untuk mengajak keluarga mengunjungi lokasi kerja mereka. Ini bukan untuk pamer, melainkan sebagai bentuk transparansi pekerjaan. Istri dan anak-anak mereka ingin melihat langsung di mana suami mereka menghabiskan waktu di bawah terik matahari.
Di salah satu proyek rumah mewah, seorang kuli mengajak keluarganya. Saat ditanya anak kecilnya, "Ayah, kalau rumah ini sudah jadi, kita tinggal di sini, ya?" Sang ayah hanya bisa menggaruk kepala yang tidak gatal. "Tidak bisa, Nak. Ayah cuma tukang bangun. Pemiliknya yang tinggal di sini. Tugas Ayah cuma memastikan pintunya kuat dan lantainya rata." Jawaban lugas itu seringkali menjadi penutup manis sekaligus getir dari setiap kisah liburan mereka—sebuah pengingat bahwa hasil kerja keras mereka adalah untuk orang lain.
Setelah seminggu atau dua minggu menikmati rumah dan sawah di kampung halaman, para kuli bangunan akan kembali ke kota. Mereka datang dengan tas ransel berisi oleh-oleh sederhana—mungkin beberapa potong kerupuk buatan sendiri atau baju baru untuk anak—dan semangat yang terbarukan.
Liburan bagi mereka bukanlah pelarian, melainkan baterai isi ulang. Mereka kembali bukan sebagai turis, tetapi sebagai arsitek garis depan yang siap menghadapi tantangan baru: beton yang harus dicampur lebih cepat, dinding yang harus lebih tegak, dan target waktu yang harus dikejar. Anekdot liburan mereka, meski sederhana, mengajarkan kita tentang arti istirahat yang sesungguhnya: kedekatan dengan keluarga dan rasa syukur yang tulus atas rezeki yang halal. Mereka beristirahat sejenak agar bisa membangun masa depan orang lain dengan fondasi yang lebih kokoh.