Ilustrasi anggrek yang tumbuh secara alami di pohon mangga.
Pemandangan alam sering kali menyajikan kejutan visual yang menakjubkan, salah satunya adalah ketika kita menemukan anggrek di pohon mangga. Fenomena ini bukan sekadar estetika semata, tetapi merupakan contoh sempurna dari simbiosis ekologis yang disebut epifitisme. Pohon mangga, dengan cabang-cabangnya yang kokoh dan permukaannya yang kasar, sering kali menjadi rumah yang ideal bagi berbagai jenis anggrek tropis.
Anggrek yang tumbuh di pohon mangga dikategorikan sebagai epifit. Istilah 'epifit' berasal dari bahasa Yunani, di mana 'epi' berarti di atas dan 'phyton' berarti tanaman. Berbeda dengan tanaman parasit, anggrek epifit tidak mengambil nutrisi atau air dari inangnya (pohon mangga). Mereka hanya menggunakan pohon tersebut sebagai tempat untuk menopang diri, memungkinkan mereka menjangkau sinar matahari yang lebih baik tanpa harus bersaing di lantai hutan yang gelap.
Di Indonesia, terutama di daerah yang memiliki curah hujan memadai dan kelembaban tinggi, pohon mangga (Mangifera indica) menyediakan substrat yang stabil. Anggrek menancapkan akarnya yang termodifikasi—seringkali dilapisi velamen—ke kulit batang atau celah-celah cabang. Akar ini berfungsi ganda: sebagai jangkar dan sebagai spons penyerap air hujan serta embun pagi.
Bagi anggrek, menempel pada pohon mangga menawarkan beberapa keuntungan signifikan. Pertama, aksesibilitas terhadap cahaya matahari. Di lingkungan hutan yang padat, cahaya adalah sumber daya yang sangat kompetitif. Dengan tumbuh di atas, anggrek dapat memaksimalkan fotosintesis. Kedua, sirkulasi udara yang baik sangat penting bagi anggrek, karena akar yang terus-menerus basah cenderung mudah membusuk. Ketinggian pada pohon mangga memastikan akar mereka cepat kering setelah hujan.
Keindahan yang dihasilkan dari interaksi ini tak terbantahkan. Ketika bunga anggrek mekar, seringkali dengan warna-warni cerah seperti ungu, putih, atau kuning, kontrasnya dengan daun hijau mangga menciptakan pemandangan yang dramatis dan eksotis. Di beberapa kebun buah tradisional, kehadiran anggrek liar bahkan dianggap sebagai pertanda kesehatan ekosistem kebun tersebut.
Tidak semua anggrek bisa hidup menempel di pohon mangga. Spesies yang umum ditemukan biasanya adalah anggrek simpodial atau monopodial yang toleran terhadap fluktuasi kelembaban. Di daerah tropis Asia Tenggara, kita mungkin menjumpai spesies dari genus seperti Vanda, Dendrobium, atau Phalaenopsis liar yang telah beradaptasi menjadi epifit. Mereka berkembang biak melalui biji kecil yang terbawa angin, dan jika benih tersebut mendarat di tempat yang tepat—seperti di celah kulit mangga yang lembap—maka siklus kehidupan baru pun dimulai.
Bagi pemilik kebun mangga, keberadaan anggrek epifit umumnya tidak menimbulkan kerugian. Mereka tidak menyerang kambium atau bagian vital pohon. Justru, mereka menjadi indikator keanekaragaman hayati. Namun, penting untuk memastikan bahwa pertumbuhan anggrek tidak menjadi terlalu masif hingga menghalangi sinar matahari yang sangat dibutuhkan oleh pohon mangga itu sendiri, terutama di area cabang produktif. Jika anggrek terlalu padat, penjarangan ringan dapat dilakukan, namun selalu dengan hati-hati untuk menjaga integritas akar anggrek tersebut.
Secara keseluruhan, melihat anggrek di pohon mangga mengingatkan kita bahwa alam bekerja dengan cara yang saling mendukung. Pohon mangga menyediakan struktur vertikal, dan anggrek memperindah struktur tersebut dengan sentuhan warna tropisnya yang mempesona. Ini adalah kemitraan yang indah dan alami di bawah kanopi langit.