Surat An-Nisa, atau yang dikenal sebagai surat "Perempuan", merupakan salah satu bab terpanjang dalam Al-Qur'an. Di dalamnya, Allah SWT mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk yang berkaitan dengan keluarga dan hubungan antarindividu. Salah satu ayat yang memegang peranan penting dan sering menjadi rujukan dalam pembentukan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah adalah QS. An Nisa ayat 23. Ayat ini secara gamblang menyebutkan siapa saja yang haram dinikahi, menjadikannya sebagai pedoman fundamental bagi umat Muslim dalam memilih pasangan hidup.
"Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, bibi-bibi dari pihak ayahmu, bibi-bibi dari pihak ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pengasuhanmu, tetapi jika belum bercampur dengan istri-istrimu itu, maka tidak ada dosa bagimu (mengawini anak tiri tersebut), (dan diharamkan pula) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Pengharaman pernikahan yang dijelaskan dalam QS. An Nisa ayat 23 ini mencakup beberapa tingkatan kekerabatan yang sangat dekat. Mulai dari kerabat sedarah seperti ibu, anak perempuan, saudara kandung, bibi, hingga keponakan. Ini menunjukkan betapa Islam sangat menjaga kesucian nasab dan hubungan kekeluargaan yang fundamental. Lebih lanjut, ayat ini juga merinci pengharaman terkait hubungan susuan, yang memiliki kedudukan sama dengan hubungan nasab dalam hal mahram.
Poin penting lainnya yang diangkat dalam ayat ini adalah mengenai mertua dan anak tiri. Pernikahan dengan mertua diharamkan selamanya, sementara terkait anak tiri, terdapat kaidah yang perlu diperhatikan. Jika seorang pria telah menikah sah dengan seorang perempuan namun belum melakukan hubungan badan dengannya, maka ia boleh menikahi anak perempuan dari perempuan tersebut. Namun, jika sudah terjalin hubungan badan, maka haram baginya menikahi anak tiri perempuannya itu. Aturan ini mencerminkan kehati-hatian dalam menjaga kehormatan keluarga dan menghindari potensi konflik atau ketidakadilan.
Selain itu, QS. An Nisa ayat 23 juga melarang praktik poligami yang mengumpulkan dua perempuan bersaudara sekaligus dalam satu ikatan pernikahan. Ini adalah bentuk larangan yang bertujuan untuk menjaga keharmonisan dan mencegah gesekan yang mungkin timbul di antara anggota keluarga besar. Larangan ini menunjukkan prinsip keadilan dan kemanusiaan yang mendalam dalam ajaran Islam.
Larangan-larangan yang termaktub dalam QS. An Nisa ayat 23 bukan sekadar aturan mati, melainkan memiliki hikmah dan tujuan yang sangat mulia. Di antaranya adalah:
Penting untuk dipahami bahwa seluruh ketetapan ini adalah wujud kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya. Dengan mengikuti pedoman ini, diharapkan setiap Muslim dapat membangun keluarga yang kokoh, penuh cinta, dan membawa keberkahan. QS. An Nisa ayat 23 menjadi pengingat bahwa pernikahan adalah ibadah yang sakral dan memerlukan landasan yang kuat sesuai syariat.
Memahami dan mengamalkan isi QS. An Nisa ayat 23 adalah tanggung jawab setiap Muslim yang akan atau sedang menempuh jenjang pernikahan. Ini adalah bekal penting untuk menghindari kesalahan fatal dan membangun rumah tangga yang diridhai Allah SWT, yang berlandaskan pada pemahaman yang benar tentang siapa saja yang boleh dan tidak boleh dinikahi, demi terciptanya keluarga yang sakinah dan abadi.