Dalam Al-Qur'an, banyak ayat yang memberikan panduan komprehensif bagi umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Surat An Nisa, yang berarti "Wanita," adalah salah satu surat Madaniyah yang sangat kaya akan ajaran. Di dalamnya terdapat ayat-ayat kunci yang membimbing kita mengenai hubungan antara manusia, ketaatan kepada Allah, Rasul, serta pemegang otoritas. Dua ayat yang sering dibahas dan memiliki makna mendalam adalah An Nisa ayat 4 dan ayat 59. Kedua ayat ini, meskipun berbeda fokusnya, saling melengkapi dalam membangun tatanan sosial dan spiritual yang harmonis.
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa: 59)
Ayat 59 dari surat An Nisa ini merupakan prinsip fundamental dalam kehidupan seorang Muslim. Ayat ini secara tegas memerintahkan ketaatan dalam tiga tingkatan: pertama, ketaatan mutlak kepada Allah SWT sebagai sumber segala hukum dan kebaikan. Kedua, ketaatan kepada Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah dan teladan terbaik. Ketiga, ketaatan kepada ulil amri, yaitu para pemimpin atau pemegang kekuasaan yang adil dan menjalankan pemerintahan sesuai syariat.
Penting untuk dipahami bahwa ketaatan kepada ulil amri ini bersyarat. Ketaatan tersebut berlaku selama mereka tidak memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Jika terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat, maka penyelesaiannya harus dikembalikan kepada Al-Qur'an (hukum Allah) dan Sunnah Rasulullah SAW. Hal ini menegaskan bahwa otoritas tertinggi dalam Islam adalah wahyu Ilahi, bukan kekuasaan manusia semata.
Penafsiran terhadap ulil amri sendiri sangat luas. Bisa mencakup para pemimpin negara, para ulama, atau bahkan kepala keluarga dalam lingkup rumah tangga. Intinya adalah mereka yang memiliki tanggung jawab kepemimpinan dan amanah untuk mengatur urusan umat. Ketaatan ini penting demi terciptanya keteraturan, keadilan, dan kebaikan dalam masyarakat. Tanpa adanya pemimpin yang ditaati (dalam koridor yang benar), masyarakat akan mudah terpecah belah dan dilanda kekacauan.
(Ayat 4 dari Surat An Nisa memiliki makna yang lebih spesifik terkait hak dan perlakuan terhadap wanita dan anak yatim, namun jika dikaitkan dengan prinsip kepemimpinan dan pengaturan dalam keluarga/masyarakat yang terkandung dalam ayat 59, maka semangat keadilan menjadi benang merahnya. Meskipun begitu, mari kita fokus pada konteks ayat 59 yang lebih langsung terkait kepemimpinan.)
Meskipun ayat 4 secara spesifik membahas hak-hak wanita dan anak yatim, semangat keadilan yang terkandung di dalamnya sangat relevan dengan prinsip kepemimpinan yang diajarkan dalam ayat 59. Seorang ulil amri yang sejati akan senantiasa memastikan keadilan ditegakkan bagi semua lapisan masyarakat, termasuk memberikan hak-hak mereka sebagaimana mestinya. Keadilan ini bukan hanya dalam hal harta, tetapi juga dalam perlakuan, hukum, dan kesempatan.
Ayat 59 menegaskan bahwa ketaatan kepada pemimpin adalah bentuk pengabdian kepada Allah dan Rasul-Nya, asalkan pemimpin tersebut menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak menyimpang dari ajaran agama. Ini adalah keseimbangan yang indah. Umat diperintahkan taat demi kebaikan bersama, sementara pemimpin diberi amanah untuk memimpin dengan adil dan bijaksana, dengan pertanggungjawaban tertinggi kepada Sang Pencipta.
Memahami kedua ayat ini memberikan pelajaran berharga:
Pada akhirnya, Surat An Nisa ayat 59 adalah panduan praktis untuk membangun tatanan sosial yang kokoh. Ketaatan yang benar akan membawa ketenangan, kemajuan, dan keberkahan. Sementara itu, kepemimpinan yang dilandasi keadilan dan ketakwaan akan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Umat Muslim dituntut untuk menjadi warga negara yang baik, taat kepada pemimpin yang sah, namun tetap kritis dan senantiasa merujuk kepada sumber ajaran agama dalam setiap aspek kehidupan.