Simbol kebijaksanaan dan keadilan
Surat An-Nisa, yang berarti "Para Wanita", merupakan surat ke-4 dalam Al-Qur'an. Surat ini memiliki kedalaman makna dan mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari hukum keluarga, hak-hak perempuan, hingga tuntunan sosial dan spiritual. Salah satu ayat yang sangat penting dalam surat ini adalah ayat ke-61, yang memberikan penekanan kuat pada pentingnya kejujuran, kepatuhan, dan penerimaan terhadap keputusan Allah serta Rasul-Nya.
Artinya: "Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Marilah (kembali) kepada apa (hukum) yang Allah turunkan dan kepada Rasul, niscaya kamu lihat orang munafik menghalangi (manusia) dari (mendekati)mu dengan sekuat-kuatnya."
Ayat ini turun sebagai respons terhadap perilaku sebagian orang munafik pada masa Rasulullah SAW. Ketika mereka dihadapkan pada ajakan untuk kembali kepada hukum Allah (Al-Qur'an) dan ajaran Rasulullah SAW, mereka menunjukkan sikap menolak dan berusaha menghalangi orang lain untuk tunduk pada aturan ilahi. Sikap ini mencerminkan ketidakikhlasan mereka dalam beragama, di mana mereka mungkin terlihat beriman di hadapan orang lain, namun di dalam hati mereka justru menolak kebenaran.
Frasa "kembali kepada apa (hukum) yang Allah turunkan dan kepada Rasul" mengindikasikan bahwa umat Islam diperintahkan untuk senantiasa merujuk dan menjadikan Al-Qur'an serta Sunnah Rasulullah SAW sebagai sumber hukum dan panduan utama dalam setiap aspek kehidupan. Ini bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah kewajiban fundamental bagi setiap Muslim. Al-Qur'an adalah firman Allah yang sempurna, dan Sunnah Rasulullah SAW adalah penjelasannya yang otoritatif.
Penting untuk dipahami bahwa "kembali" di sini berarti mengembalikan segala urusan, keputusan, dan penyelesaian masalah kepada ketetapan ilahi. Baik dalam urusan pribadi, keluarga, sosial, maupun pemerintahan, hukum Allah adalah yang tertinggi dan paling adil. Menolak atau mengabaikan hukum Allah berarti menolak kekuasaan dan kebijaksanaan Sang Pencipta.
Ayat ini secara gamblang menggambarkan salah satu ciri utama orang munafik, yaitu sikap "menghalangi (manusia) dari (mendekati)mu dengan sekuat-kuatnya". Mereka tidak hanya menolak ajaran Allah dan Rasul, tetapi juga secara aktif berusaha mencegah orang lain agar tidak mengikuti jalan kebenaran. Bentuk penghalangan ini bisa bermacam-macam, mulai dari keraguan yang ditanamkan, fitnah, propaganda negatif, hingga menciptakan keributan dan kekacauan agar fokus masyarakat teralihkan dari tuntunan agama.
Tindakan mereka "dengan sekuat-kuatnya" menunjukkan betapa serius dan gigihnya mereka dalam upaya menyesatkan. Ini menjadi peringatan bagi kaum beriman agar waspada terhadap individu atau kelompok yang berusaha menjauhkan mereka dari sumber ajaran Islam yang murni. Mereka mungkin menggunakan berbagai cara untuk merusak citra Al-Qur'an dan Sunnah, atau merendahkan para ulama dan pembawa risalah Islam.
Selain itu, ayat ini juga menyiratkan bahwa orang munafik memiliki hati yang tidak teguh. Mereka terlihat mengikuti arus dan seringkali bersembunyi di balik kemunafikan demi mendapatkan keuntungan duniawi atau menghindari tekanan sosial. Namun, ketika kebenaran Islam disajikan secara jelas, naluri penolakan mereka justru muncul ke permukaan.
Surat An Nisa ayat 61 memberikan beberapa pelajaran penting yang relevan dalam kehidupan modern:
Dengan memahami dan merenungkan Surat An Nisa ayat 61, diharapkan setiap Muslim dapat memperkuat komitmennya terhadap ajaran Islam, menjadi pribadi yang jujur dalam beragama, dan senantiasa waspada terhadap berbagai bentuk godaan serta penyesatan yang ada di sekitarnya. Penolakan terhadap ajaran Allah dan Rasul adalah pintu kemunafikan yang harus dihindari sedini mungkin.