Surah An-Nisa, yang berarti "Wanita", merupakan salah satu surah Madaniyah terpanjang dalam Al-Qur'an. Memulai pembahasannya dengan ayat 1 hingga 12, surah ini meletakkan dasar-dasar fundamental yang sangat penting bagi tatanan kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat dalam perspektif Islam. Ayat-ayat awal ini bukan sekadar bacaan, melainkan panduan komprehensif yang mengatur hubungan antar sesama manusia, terutama terkait hak-hak yang lemah, pembagian warisan, dan tanggung jawab moral.
"Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (QS. An-Nisa: 1)
Ayat pertama ini secara tegas mengingatkan kita akan asal-usul penciptaan manusia. Dimulai dari satu jiwa, kemudian Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya berkembang biaklah umat manusia. Hal ini menekankan pentingnya persatuan, kesatuan, dan akar bersama seluruh umat manusia. Konsep ini menolak segala bentuk primordialisme suku, ras, atau bangsa yang memecah belah. Inti dari ayat ini adalah perintah untuk senantiasa bertakwa, yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta memelihara hubungan silaturahmi antar sesama. Hubungan ini bukan hanya dalam keluarga, tetapi juga secara luas di masyarakat.
"Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, janganlah kamu menukar barangmu yang baik dengan barang mereka yang buruk dan janganlah kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan demikian itu adalah dosa yang besar." (QS. An-Nisa: 2)
Selanjutnya, ayat 2 memberikan perhatian khusus kepada kelompok yang rentan, yaitu anak yatim. Allah memerintahkan agar harta anak yatim dijaga dan dikelola dengan baik, tidak dicampur dengan harta milik orang yang mengasuh, apalagi sampai memakan harta mereka secara zalim. Perintah ini menunjukkan betapa Islam sangat peduli terhadap kesejahteraan anak-anak yang kehilangan figur ayah, memastikan mereka tidak ditelantarkan dan hak-hak mereka terpenuhi. Ini adalah bentuk keadilan sosial yang mendalam.
Ayat-ayat berikutnya dalam rentang ini terus membahas lebih rinci mengenai pengasuhan yatim, termasuk aturan mengenai pernikahan dengan perempuan yatim dan keharusan berlaku adil. Ayat 3 misalnya, memberikan panduan mengenai hak seorang pria untuk menikahi wanita yang ia sukupi, baik dua, tiga, maupun empat orang, namun dengan syarat yang sangat berat, yaitu mampu berlaku adil. Jika tidak mampu, maka cukup satu orang saja.
"Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap (anak-anak) perempuan yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (QS. An-Nisa: 3)
Ayat 3 ini memberikan landasan hukum penting mengenai poligami, namun dengan penekanan yang kuat pada keadilan. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek materiil dan non-materiil, seperti pembagian waktu, nafkah, dan perlakuan yang sama. Jika keadilan ini sulit ditegakkan, maka Islam mengajarkan untuk membatasi diri pada satu istri saja, bahkan hingga kepada budak belian (pada konteks masa lalu) yang dinilai lebih mendekati pada kondisi tidak berbuat aniaya. Ini menunjukkan bahwa aturan Islam selalu mengedepankan kemaslahatan dan keadilan.
Ayat 4 dan 5 kemudian melanjutkan pembahasan mengenai pemberian mahar kepada wanita, serta larangan memakan harta anak yatim secara tidak sah, dan peringatan keras bagi yang melanggar. Hal ini menegaskan bahwa harta benda, terutama yang berasal dari kerabat, harus dikelola dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran.
Bagian terpenting dan paling mendetail dalam ayat 1-12 surah An-Nisa adalah aturan pembagian warisan yang dimulai dari ayat 7 hingga 12. Ini adalah mandat ilahi yang memberikan kejelasan hukum untuk menghindari perselisihan yang seringkali timbul dalam keluarga setelah seseorang meninggal dunia. Aturan ini tidak hanya memastikan harta pusaka tersalurkan kepada ahli waris yang berhak, tetapi juga memberikan porsi yang berbeda-beda berdasarkan kedekatan hubungan dan peran dalam keluarga, dengan prinsip keadilan yang telah digariskan Allah.
"Bagi orang laki-laki ada bagian seperdua dari harta peninggalan ibu-bapanya dan saudarasaudaranya, dan bagi orang perempuan ada bagian seperdua (pula) dari apa yang ditinggalkan oleh ibu-bapanya, baik laki-laki maupun perempuan. Dan jika seorang laki-laki atau perempuan yang tidak mempunyai anak, lagi pula ia mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka bagi masing-masing dari keduanya (saudara laki-laki atau perempuan itu) seperenam dari harta peninggalan. Jika mereka (saudara laki-laki dan perempuan itu) lebih dari seorang, maka mereka beroleh sepertiga dari harta peninggalan itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat oleh pewaris atau sesudah dibayar utangnya, sedang (anak-anak) itu tiada săat berbuat mudharat (bahaya)." (QS. An-Nisa: 11)
Ayat 11 dan 12 secara spesifik mengatur jatah warisan bagi orang tua, anak, saudara laki-laki, dan saudara perempuan. Konsep pembagian warisan dalam Islam ini mencerminkan realitas sosial dan tanggung jawab ekonomi pada masa turunnya wahyu. Laki-laki umumnya memiliki tanggung jawab finansial yang lebih besar terhadap keluarga, sehingga porsinya terkadang lebih besar. Namun, ini bukan berarti perempuan tidak dihargai; mereka mendapatkan hak yang jelas dan pasti. Ketentuan ini mencakup berbagai skenario, mulai dari pewaris yang memiliki anak, hingga yang hanya memiliki saudara.
Surah An-Nisa ayat 1-12 adalah babak pembuka yang sangat kaya makna. Ayat-ayat ini tidak hanya mengatur aspek-aspek fundamental dalam keluarga seperti pernikahan, perlindungan terhadap yatim, dan tanggung jawab keuangan, tetapi juga meletakkan dasar-dasar keadilan sosial dan ketertiban dalam masyarakat. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran dalam ayat-ayat ini, umat Islam diharapkan dapat membangun rumah tangga yang harmonis, serta masyarakat yang adil, peduli terhadap sesama, dan senantiasa dalam lindungan serta ridha Allah SWT.