Surah An-Nisa, yang berarti "Wanita", merupakan surah Madaniyah yang membahas berbagai aspek kehidupan sosial dan hukum dalam Islam, khususnya yang berkaitan dengan keluarga dan hak-hak wanita. Dua ayat pertamanya membuka surah ini dengan sebuah pesan fundamental yang memuat ajaran tentang penciptaan manusia, pentingnya menjaga hubungan silaturahmi, serta landasan dalam membangun rumah tangga yang kokoh dan penuh tanggung jawab. Memahami kedua ayat ini adalah kunci untuk memahami semangat surah An-Nisa secara keseluruhan.
Artinya: "Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) dan daripadanya Allah menciptakan istrinya (Hawa); dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."
Ayat pertama Surah An-Nisa dimulai dengan seruan universal kepada seluruh umat manusia: "Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu." Seruan ini bersifat umum, mencakup seluruh individu tanpa memandang latar belakang, ras, atau status sosial. Inti dari ketakwaan yang diperintahkan adalah kesadaran akan kebesaran Allah sebagai Sang Pencipta. Allah SWT mengingatkan bahwa seluruh umat manusia berasal dari satu sumber, yaitu Adam 'alaihissalam, dan Hawa radhiyallahu 'anha sebagai pasangannya. Penciptaan dari satu jiwa dan pasangannya ini menekankan prinsip persatuan dan kesatuan umat manusia. Kita semua adalah saudara dalam garis keturunan dan memiliki asal yang sama.
Implikasi dari kesatuan asal ini sangatlah mendalam. Allah menegaskan bahwa dari pasangan pertama ini, Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang sangat banyak. Ini adalah bukti kekuasaan-Nya dan sekaligus pengingat bahwa setiap individu memiliki peran dan kedudukan. Perintah untuk bertakwa juga diarahkan pada pentingnya menjaga hubungan antar sesama, yang diwujudkan dalam frasa "wa al-arham" (dan hubungan silaturahmi). Al-Arham merujuk pada hubungan kekerabatan, keluarga, dan seluruh ikatan yang menyatukan manusia. Menjaga hubungan ini adalah salah satu bentuk manifestasi ketakwaan kepada Allah.
Lebih lanjut, ayat ini juga mengingatkan tentang pentingnya menjaga hubungan dengan Allah melalui janji dan sumpah. Frasa "alladhi tasa'aluna bihi" mengindikasikan bahwa manusia sering menggunakan nama Allah dalam berbagai urusan, termasuk saat saling meminta atau bersumpah. Hal ini menuntut agar nama Allah diagungkan dan tidak disalahgunakan. Keseluruhan pesan dalam ayat pertama ini menggarisbawahi pentingnya kesadaran spiritual, persatuan umat manusia, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap hubungan kekerabatan, semua dalam bingkai ketakwaan kepada Allah SWT.
Artinya: "Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) dan daripadanya Allah menciptakan istrinya (Hawa); dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."
Artinya: "Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."
Ayat kedua Surah An-Nisa berfokus pada aspek yang lebih spesifik terkait dengan keluarga, terutama perlindungan terhadap anak yatim dan pengaturan pernikahan. Ayat ini sering kali dijadikan sebagai dasar hukum untuk pengelolaan harta anak yatim. Allah SWT berfirman:
Artinya: "Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (pula) harta mereka; janganlah kamu menukarkan yang baik dengan yang buruk dan janganlah kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya, barang siapa melakukan itu, tebusannya ialah dosa yang besar."
Perintah dalam ayat ini sangat tegas: "Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (pula) harta mereka". Ini menunjukkan tanggung jawab besar para wali atau pengelola harta anak yatim. Harta tersebut adalah hak anak yatim, dan harus diberikan sepenuhnya saat mereka mencapai usia dewasa dan mampu mengelolanya. Larangan untuk menukar harta yang baik dengan yang buruk ("janganlah kamu menukarkan yang baik dengan yang buruk") berarti tidak boleh mengganti harta anak yatim yang bernilai dengan harta yang kurang bernilai, atau menggunakan harta mereka untuk membeli sesuatu yang buruk.
Lebih lanjut, larangan "janganlah kamu memakan harta mereka bersama hartamu" menekankan pentingnya pemisahan harta. Pengelola tidak boleh mencampuradukkan harta anak yatim dengan harta pribadi mereka dengan niat untuk menguntungkan diri sendiri. Jika ini dilakukan, konsekuensinya adalah dosa yang sangat besar ("sesungguhnya, barang siapa melakukan itu, tebusannya ialah dosa yang besar"). Hal ini menunjukkan betapa Islam sangat melindungi hak-hak kaum yang lemah, terutama anak yatim, yang tidak memiliki pelindung atau pencari nafkah utama.
Ayat kedua ini juga mengandung perintah terkait pernikahan, yang seringkali dibahas dalam tafsirnya:
Artinya: "Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan (anak yatim), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Demikian itu agar kamu tidak berbuat aniaya."
Ayat ini memberikan pedoman dalam pernikahan. Frasa "jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan (anak yatim)" sering ditafsirkan berkaitan dengan kondisi di mana seorang laki-laki menjadi wali bagi anak yatim perempuan. Jika ia khawatir akan mengabaikan hak-hak anak yatim perempuan tersebut atau tidak dapat bersikap adil dalam urusannya, maka ia dianjurkan untuk tidak menikahi wanita-wanita lain (yakni, bukan anak yatim yang ia asuh) lebih dari satu. Namun, jika ia berhasrat menikahi lebih dari satu wanita, diizinkan hingga empat, dengan syarat mampu berlaku adil.
Ketidakadilan yang dimaksud mencakup aspek lahir maupun batin, seperti pemberian nafkah, pembagian giliran, dan perlakuan yang sama. Jika ada kekhawatiran tidak mampu berbuat adil, maka pilihan terbaik adalah menikahi satu orang saja. Jika tidak mampu juga, maka pilihan terakhir adalah budak-budak yang dimiliki. Tujuannya adalah untuk menghindari perbuatan aniaya dan menjaga keharmonisan keluarga serta keadilan dalam masyarakat.
Dua ayat pertama Surah An-Nisa merupakan fondasi penting bagi ajaran-ajaran selanjutnya. Ayat pertama menggarisbawahi persatuan umat manusia, tanggung jawab sosial, dan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama dan dengan Allah. Sementara ayat kedua memberikan pedoman konkret mengenai perlindungan harta anak yatim serta pengaturan pernikahan yang adil. Kedua ayat ini secara keseluruhan mengingatkan kita akan pentingnya ketaqwaan, keadilan, dan tanggung jawab dalam setiap aspek kehidupan, terutama dalam membangun institusi keluarga yang kokoh dan masyarakat yang harmonis.