Surah An-Nisa, yang berarti "Wanita", merupakan salah satu surah Madaniyah yang memiliki kedalaman makna luar biasa. Ayat-ayat awal dari surah ini, khususnya ayat 1 hingga 15, meletakkan fondasi penting mengenai hubungan antarmanusia, keadilan, dan bagaimana membangun masyarakat yang harmonis. Memahami ayat-ayat ini bukan sekadar membaca teks suci, melainkan menggali prinsip-prinsip abadi yang relevan untuk setiap zaman dan setiap individu.
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (QS. An-Nisa: 1)
Ayat pertama ini membuka dengan pengingat fundamental: semua manusia berasal dari satu sumber yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Ini menekankan kesetaraan asal-usul dan persaudaraan universal seluruh umat manusia. Perintah untuk bertakwa kepada Allah, sumber segala ciptaan, menjadi landasan utama. Lebih lanjut, ayat ini menyerukan penjagaan hubungan silaturahmi, yaitu tali kekeluargaan dan persaudaraan. Allah SWT, sebagai Zat yang Maha Mengawasi, menjadikan penjagaan hubungan ini sebagai sebuah keharusan.
"Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, janganlah kamu menukar acak-acakan dengan yang baik dan janganlah kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan demikian itu adalah dosa yang besar." (QS. An-Nisa: 2)
Melanjutkan dari konsep persaudaraan, ayat kedua langsung menyentuh aspek kepedulian sosial, khususnya terhadap anak yatim. Harta anak yatim adalah amanah yang harus dijaga, bukan untuk dihabiskan atau ditukar dengan yang buruk. Konsep ini mengajarkan tentang keadilan, tanggung jawab, dan empati terhadap mereka yang rentan.
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (anak-anak) perempuan, maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berlaku aniaya." (QS. An-Nisa: 3)
Ayat ketiga ini adalah ayat yang paling sering dibicarakan terkait poligami. Namun, penting untuk dicatat bahwa kebolehan berpoligami ini disertai dengan syarat yang sangat berat, yaitu kemampuan untuk berlaku adil. Jika ketakutan akan ketidakadilan muncul, maka perintahnya adalah untuk mencukupkan diri dengan satu istri. Konteks ayat ini adalah untuk memastikan keadilan dalam rumah tangga, terutama bagi perempuan yang mungkin rentan dalam struktur sosial tertentu. Prinsip keadilan menjadi inti dari pengaturan pernikahan dalam Islam.
Ayat-ayat selanjutnya, dari ayat 4 hingga 10, berfokus pada hak-hak perempuan dalam pernikahan, terutama terkait mahar dan pengelolaan harta.
"Dan berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai suatu pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu, maka makanlah (ambillah) dia sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya." (QS. An-Nisa: 4)
Mahar adalah hak mutlak istri yang diberikan oleh suami, sebagai tanda penghargaan dan kewajiban. Pemberian mahar haruslah tulus, dan jika sebagian darinya dihibahkan kembali oleh istri, maka suami berhak menerimanya. Ini menekankan pentingnya kerelaan dan keikhlasan dalam hubungan.
Ayat 5 hingga 7 secara rinci mengatur tentang bagaimana harta anak-anak yatim dan orang-orang yang kurang beruntung harus dikelola dengan adil. Harta mereka tidak boleh disia-siakan, dan harus dikembalikan ketika mereka mencapai usia dewasa dan mampu mengelolanya sendiri. Ini adalah pelajaran penting tentang amanah dan tanggung jawab finansial dalam keluarga dan masyarakat.
"Dan hendaklah orang-orang yang tidak mampu mencari penghidupan, memelihara kehormatan diri, karena mereka sederhana dalam perkataan, dan janganlah kamu memberi orang-orang itu harta mereka, sedang ia masih berdagang atau bekerja, dan janganlah kamu makan melainkan menunggunya bertambah banyak, dan janganlah kamu bakar hartanya. Sesungguhnya orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya ia menelan api ke dalam perutnya dan kelak ia akan memasuki api yang menyala-nyala (neraka)." (QS. An-Nisa: 10)
Ayat 10 secara tegas memperingatkan tentang larangan memakan harta anak yatim secara zalim, digambarkan sebagai memasukkan api ke dalam perut. Ini menunjukkan betapa berat dosa memakan hak orang yang lemah.
Ayat 11 hingga 15 kemudian membahas secara spesifik mengenai hukum waris.
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian seorang laki-laki ialah sama dengan bagian dua orang perempuan. Jika mereka perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika ia seorang saja, maka ia mendapat separuh. Dan untuk kedua ibu-bapaknya, masing-masing mendapat seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika anak itu mempunyai anak. Jika anak itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh kedua ibu-bapanya, maka ibunya mendapat sepertiga. Jika ia mempunyai saudara-saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian itu) sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. An-Nisa: 11)
Ayat waris ini seringkali menjadi titik fokus diskusi. Prinsip dasarnya adalah keadilan berdasarkan tanggung jawab. Laki-laki dalam Islam memiliki kewajiban finansial yang lebih besar terhadap keluarga, sehingga bagian warisnya dua kali lipat dari perempuan. Namun, ini bukan diskriminasi, melainkan penyesuaian dengan tanggung jawab. Ayah dan ibu juga memiliki hak waris yang jelas, dengan pengaturan yang berbeda tergantung kondisi pewaris. Prinsip utama adalah bahwa pembagian waris dilakukan setelah utang dan wasiat dipenuhi.
Ayat 12 dan 13 merinci pembagian waris untuk suami/istri dan juga mengatur larangan untuk memakan harta yang diwariskan secara tidak sah. Terakhir, ayat 14 dan 15 memberikan peringatan keras bagi orang-orang yang berpaling dari ajaran Allah mengenai hukum waris, dan memberikan kesempatan taubat bagi mereka yang menyalahi.
Ayat 1 hingga 15 Surah An-Nisa memberikan fondasi yang kokoh bagi pembentukan keluarga dan masyarakat yang berkeadilan. Prinsip kesetaraan asal-usul, kewajiban terhadap anak yatim, keadilan dalam pernikahan, pengelolaan harta yang amanah, dan aturan waris yang terperinci adalah ajaran yang senantiasa relevan. Dalam konteks modern, ayat-ayat ini mengingatkan kita untuk selalu mengedepankan keadilan, empati, dan tanggung jawab dalam setiap aspek kehidupan, khususnya dalam interaksi keluarga dan komunitas. Memahami dan mengamalkan nilai-nilai dalam ayat-ayat ini adalah kunci untuk membangun rumah tangga yang sakinah dan masyarakat yang adil serta sejahtera.