Ilmu Penghitungan Ayat Suci
Al-Qur'anul Karim, kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, adalah sumber hukum utama bagi umat Islam. Salah satu aspek yang sering menjadi perbincangan di kalangan cendekiawan adalah mengenai jumlah pasti ayat yang terkandung di dalamnya. Menariknya, meskipun substansi Al-Qur'an tunggal dan tidak berubah, terdapat variasi dalam penghitungan yang dilakukan oleh para ulama dari berbagai mazhab dan generasi.
Perbedaan dalam penghitungan ini bukanlah pertentangan terhadap keotentikan wahyu, melainkan lebih kepada perbedaan metodologi dalam menentukan batas akhir sebuah ayat, terutama pada ayat-ayat yang memiliki jeda napas atau tanda baca yang bervariasi dalam mushaf awal.
Setidaknya ada tiga faktor utama yang mempengaruhi perbedaan jumlah ayat yang dihasilkan oleh para ulama penghitung (Huffazh al-Ayat):
Secara garis besar, pandangan para ulama terbagi menjadi empat pendapat utama mengenai total jumlah ayat Al-Qur'an:
Pandangan ini sangat populer di kalangan ulama Kufah, seperti Abu Abdurrahman As-Sulami dan Yahya bin Yamar. Dalam perhitungan ini, Basmalah yang berada di awal surat **tidak dihitung** sebagai bagian dari ayat surat tersebut, kecuali Basmalah di awal Surah An-Naml yang disepakati sebagai ayat tersendiri.
Ini adalah pandangan yang dianut oleh ulama Madinah, seperti Syaikh Syibrah, yang merupakan salah satu qari terkemuka. Mereka cenderung memisahkan ayat berdasarkan jeda pernapasan alami dan tidak menghitung Basmalah di awal surat sama sekali.
Ulama dari Makkah, yang mengikuti metodologi Abu Dawud Sulaiman bin Muslim Al-A'masy, cenderung menghitung ayat berdasarkan penandaan pada mushaf mereka. Dalam pandangan ini, Basmalah di awal surat tidak dihitung sebagai ayat pembuka.
Ini adalah pandangan yang dipegang oleh ulama Syam, termasuk Abu Hurairah Ad-Dany. Dalam perhitungan ini, Basmalah di awal surat dihitung sebagai ayat pembuka untuk setiap surat yang memilikinya.
Meskipun terdapat keragaman metodologi tersebut, jumlah ayat yang paling sering dijadikan standar dan digunakan dalam Mushaf standar yang beredar luas di dunia saat ini adalah **6.236 ayat**. Angka ini umumnya mengikuti pandangan ulama dari Kufah.
Namun, penting untuk dicatat bahwa perbedaan penghitungan ini hanyalah masalah teknis penandaan (waqf dan ibtida) dan tidak mengurangi kebenaran ilahi maupun keajaiban bahasa dari setiap ayat Al-Qur'an. Semua ulama sepakat bahwa isi, makna, dan kemukjizatan Al-Qur'an tetap utuh, terlepas dari apakah suatu kalimat dihitung sebagai satu ayat atau dua ayat terpisah berdasarkan tata cara penulisan dan penghitungan yang berlaku pada masa mereka.
Para ahli ilmu riwayat (Naqifah) Al-Qur'an menekankan bahwa fokus utama adalah pemahaman dan pengamalan isi wahyu, bukan terjebak dalam perbedaan angka yang bersifat ijtihadi. Oleh karena itu, setiap jumlah ayat yang disebutkan oleh ulama terpercaya harus dihormati sebagai bagian dari kekayaan khazanah keilmuan Islam.
Sebagai penutup, studi mengenai perbedaan jumlah ayat ini menunjukkan kedalaman dan ketelitian luar biasa yang dilakukan oleh para ulama terdahulu dalam memelihara setiap huruf dan kalimat suci ini dari generasi ke generasi.