Pesan Iman dari An Nahl Ayat 38: Jawaban Atas Keraguan

Pesan Kebenaran Ilahi

وَاَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَا يَبْعَثُ اللَّهُ مَن يَمُوتُ ۚ بَلَىٰ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

(QS. An-Nahl [16]: 38)

Konteks Wahyu: Sebuah Tantangan Iman

Surat An-Nahl, yang berarti "Lebah," adalah surat Makkiyah yang kaya akan deskripsi keesaan Allah, keindahan alam ciptaan, serta dialog antara kebenaran dan kekufuran. Ayat ke-38 dari surat ini menyoroti salah satu poin paling fundamental dalam ajaran Islam: **keyakinan akan adanya hari kebangkitan (Ba'ats)**.

Ayat ini secara gamblang menggambarkan respons keras kaum musyrikin Mekkah ketika dihadapkan pada dakwah tentang kehidupan setelah kematian. Mereka bersumpah sekuat-kuatnya (jahda aimanihim) bahwa Allah tidak akan membangkitkan seorang pun yang telah mati. Sumpah ini menunjukkan tingkat kepastian dan penolakan yang mendalam terhadap konsep hari perhitungan. Bagi mereka, kematian adalah akhir mutlak, sebuah ketiadaan total.

Sumpah mereka ini didasarkan pada logika material semata, menganggap bahwa tubuh yang telah hancur menjadi debu tidak mungkin dikembalikan lagi. Mereka tidak mampu menjangkau kekuasaan Allah yang melampaui pemahaman akal terbatas mereka. Dalam pandangan mereka, jika ada kehidupan setelah mati, itu adalah sesuatu yang mustahil secara fisik dan logis.

Penegasan Tegas dari Allah SWT

Menanggapi sumpah ingkar tersebut, Allah SWT memberikan bantahan yang tegas dan mutlak: "Balā" (Bahkan!). Kata ini adalah penegasan yang sangat kuat, seolah-olah menepis keraguan mereka secepat kilat. Setelah bantahan tersebut, Allah melanjutkan dengan pernyataan janji yang tidak bisa diganggu gugat: "Wa‘dan ‘alaihi haqqan" (Itu adalah janji yang pasti atas-Nya).

Poin krusial di sini terletak pada frasa "‘alaihi haqqan". Ini menunjukkan bahwa kebangkitan bukanlah sekadar kemungkinan atau harapan, melainkan sebuah ketetapan yang telah Allah wajibkan atas Diri-Nya sendiri sebagai bagian dari janji-Nya kepada seluruh hamba-Nya. Janji Allah adalah kebenaran hakiki yang pasti terjadi, tidak peduli seberapa besar keraguan manusia.

Keterbatasan Ilmu Manusia

Ayat ini diakhiri dengan sebuah kesimpulan universal: "Walākinna aktsaran-nāsi lā ya‘lamūn" (Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui). Ini adalah pengakuan atas keterbatasan pengetahuan manusia. Manusia, dengan segala ilmu pengetahuan dan pengamatan empirisnya, hanya mampu memahami lingkup ciptaan yang terlihat. Mereka tidak memiliki kapasitas untuk memahami mekanisme penciptaan ulang atau kuasa Allah yang sempurna.

Kebutaan mereka terhadap hakikat ini bukan karena kekurangan bukti, melainkan karena penolakan hati (kefasikan) atau ketidakmauan untuk mencari kebenaran di luar apa yang dapat mereka sentuh dan ukur. Mereka gagal menyadari bahwa Zat yang mampu menciptakan alam semesta dari ketiadaan (sebagaimana disebutkan di ayat-ayat sebelumnya tentang penciptaan langit dan bumi) tentu saja mampu menghidupkan kembali makhluk yang telah mati.

Relevansi An Nahl 38 dalam Kehidupan Modern

Meskipun ayat ini turun di tengah konteks penolakan paganisme kuno, relevansinya tetap kuat hingga kini. Di era modern, tantangan terhadap kebangkitan sering kali datang dalam bentuk skeptisisme ilmiah atau ateisme filosofis yang menuntut bukti fisik absolut.

An-Nahl 38 menjadi pengingat bahwa iman sejati melampaui batas-batas observasi indrawi. Keyakinan pada hari kiamat berfungsi sebagai fondasi moral dan etika. Mengapa kita harus berbuat baik, menahan diri dari kejahatan, dan bertanggung jawab atas setiap tindakan? Jawabannya tersemat dalam keyakinan bahwa semua perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Dzat yang janji-Nya adalah kebenaran.

Inti dari ayat ini adalah ketegasan janji Ilahi versus ketidaktahuan manusia. Bagi seorang Muslim, ayat ini adalah peneguhan: keraguan adalah wajar, tetapi kepastian iman harus didasarkan pada firman Allah yang tidak pernah mengingkari janji-Nya. Pengingat ini memastikan bahwa tujuan akhir kehidupan di dunia adalah persiapan menuju realitas yang lebih agung, yaitu hari di mana setiap jiwa akan dibangkitkan untuk menerima keputusan yang adil.

🏠 Homepage